Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Memento Mori

Diperbarui: 1 Oktober 2018   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay


Kamu berusaha memastikan, namun kita hanya mampu bicara tentang kemungkinan.

***

Lautan memiliki kelebihan tenaga dan waktu luang. Dimensi yang memanjang pada embusan angin, serta buih-buih yang mudah pecah dan terlalu sering bicara. Sejenak, ombak ingin berjalan-jalan. Berpelukan dengan kabar kematian dari tanah yang gemetaran.

Kamu mengaku tidak takut, namun tubuhmu membatu. Selimut ini terasa lebih dingin. Kehangatan retak bersama tengkorak, dan semua yang teronggok menyedihkan pada bumi yang berusaha melarikan diri.

Sementara pantai, telah mengakhiri ceritanya dengan andai-andai yang terkulai bersama perahu nelayan. Tapi di dalam sana masih ada kamu. Menyuarakan jeritan yang hanya dapat didengar oleh rayap-rayap dan cicak yang merayap mencari tempat tinggal baru.

Kita sama-sama belajar. Tak selamanya rindu membutuhkan tebusan. Batas yang meretas hanya akan membuatmu cemas. Begitu pula media, linimasa, dan semua yang cuma basa-basi di atas kertas.

Kamu yakin, ada kunang-kunang yang berkelebat di kerling para pejabat. Apa yang kamu khawatirkan, tanyaku. Kunang-kunang atau negara?

Meski tawa-tawa masih menghiasi televisi swasta, kita sadar hati kita sama-sama merana.

Hanya saja kalian bermesraan dengan semesta, ketika kami malah bergumul dengan luka-luka lama yang mendosa.

Apakah ini sekadar kisah di malam hari, atau memori yang memanggilmu kembali?

***

Cimahi, 01 Oktober 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline