Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Halimun Terakhir #11

Diperbarui: 25 September 2018   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Cerita ini berkaitan erat dan menjadi lanjutan dari Fragmen 10. Lembah Halimun. Bacalah fragmen sebelumnya untuk memahami semesta mereka secara utuh.

***

Fragmen 11. Halimun Terakhir

Semesta dalam perspektif orang pertama.

Lambang MJ terakhir, terukir di dinding batu berundak. Cukup jauh dari ukiran sebelumnya. Dalam jarak enam meter, tak ada lagi ukiran huruf yang tersisa. 

Kenapa? Di sekelilingnya, tak terlihat naungan yang menjanjikan perlindungan.

Perlahan, kepanikan luruh. Akal sehatku kembali utuh. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru mata angin. Tak ada penunjuk arah. Aku menggerung kesal. Jalan pulang hanya ada di awang-awang.

Lelah. Kuhempaskan badan tepat di bawah huruf bermasalah itu. Samar-samar terdengar suara reruntuhan. Tidak sampai dua detik, aku terperosok. Melesak ke sebuah ceruk yang tertutup bongkahan batu dan dedaunan kering.

Sekuat mental, aku menahan teriakan. Ini bisa saja lubang ular, kelelawar, anjing hutan, atau penghuni belantara lainnya. Membuat keributan bukan ide bagus jika ingin tetap selamat.

Tanpa suara, aku bergerak pelan. Gelap pekat. Kukerjapkan mata menyesuaikan intensitas cahaya. Segala kewaspadaan sirna. 

Mataku bertumbukan pada benda-benda lusuh yang bergeletakan di lantai gua. Terserak di samping ranting-ranting kering kehitaman, bekas terbakar.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline