Fragmen 9. Sumpah Sampah
(Semesta dalam perspektif orang kelima)
Proyek reklamasi dihentikan. Memenuhi tuntutan luapan sungai yang pekan lalu berdemonstrasi di jalan-jalan. Positif, penyebabnya adalah arus balik akibat sedimentasi di bagian hilir dan rawa-rawa yang dirombak menjadi lahan parkir.
Lagipula, biaya pemeliharaan dinding laut raksasa dan instalasi pengolahan air kelewat tinggi. Mengingat kasus gizi buruk dan anak-anak kelaparan yang kerap kali bergulung di pelataran, rasanya tidak pantas anggaran daerah malah terkuras untuk memberi makan euforia peradaban.
Kemajuan yang tidak seiring dengan kebaikan, hanya akan menciptakan kesenjangan dan konflik-konflik sosial berkepanjangan.
Persetan dengan pemodal yang merajuk dan merasa dirugikan. Pulau setengah jadi akan dikelola pemerintah sebagai pusat perikanan. Para nelayan akan kembali memadati pesisir utara.
Karagan bukan lagi etalase untuk diperjualbelikan kepada para pengembang yang haus tanah garapan.
Baru saja aku akan menenggelamkan diri dalam ketenangan, istriku memanggil-manggil dan melontarkan berbagai macam keluhan.
Huft, apa yang terjadi, terjadilah.
"Pak, Rivan demam. Sudah dua kali muntah dan buang air besar. Pasti gara-gara main di sungai. Sudah tahu kotor begitu kok diizinkan. Jajanannya juga pasti tidak sehat. Tadi main di sungai makan apa?" cecarnya. Anakku terbaring lemas di tempat tidur, memeluk guling.
Aku hanya termangu, tidak tahu harus menjawab apa. Melihat reaksiku yang tidak memuaskan kepanikkannya, istriku kembali bicara.