Aku menentukan akan dibunuh apa dengan memutuskan akan mencintai siapa.
Kepalaku keras hati dan hatiku keras kepala. Kamu tidak butuh cincin atau kata-kata puitis yang menjadi barang murah di pasar tumpah. Lautan magis adalah kompas yang bisa kau percaya lebih dari bintang polaris.
Sementara kenangan hendak menjadi perihal yang membosankan, masa depan sudah berakhir sejak kita dilahirkan. Kita ingin lekas tiba di rumah tanpa melupakan jalan pulang. Mendatangi akhir waktu yang duduk manis dalam perkara sudut pandang.
Kasihan pada senja yang ditangkap polisi karena menjadi pemberontak. Seperti hujan, ia menolak terjerat sajak.
Sejak awal, ini bukan cerita romantis kuda putih dan pangeran. Sisa-sisa cinta hanya mampu membuat pisau dapur kita bertugas lebih sering dari tangkai bunga. Menusuk tanpa tahu berhenti sebelum kita tidak lagi dua. Kita boleh satu, tiga, empat, atau lima.
Asalkan bukan dua.
Di tengah raungan Oktober dan bulan-bulan sesudahnya, aku memilih terkulai lebih lama dari biasa. Menontoni kamu berselimut di kolong rak buku. Selebihnya, kamu mendapatiku tidak lebih dari siluet di depan lampu meja. Punggung yang sibuk menutupi rasa-rasa berbahaya.
Sebelum malam datang, aku ingin terbaring di belantara asing tempatmu berdiam. Menyaksikan pemakaman dan bunga-bunga kamboja berguguran.
Kamu, berkali-kali terbunuh lebih dari yang kubayangkan.
***
Cimahi, 9 Oktober 2017