Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Menggugat Rasa Percaya

Diperbarui: 15 September 2018   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Kamu bertanya hening, aku menjawab geming.

***

Aku tumbuh besar bersama mereka yang jauh dari rumahnya. Kota itu tidak pernah menjadi kampung halaman. Sepanjang garis pantai disesaki janji kehidupan. Setiap mata digenangi kerinduan. Setapak jalan, hanya ada keterasingan.

Lautan terlalu lelah menanggapi kami berkeluh kesah. Ia tampak sangar karena dipaksa menjadi pekerja. Memberi makan reservoir-reservoir kelaparan. Sementara di waktu luang, harus mengasuh ikan-ikan dan terumbu karang. Belum terhitung membersihkan tumpahan minyak yang terombang-ambing seperti harapan.

Nasib langit tidak lebih baik. Ia patah hati karena bintang terus sembunyi. Selebihnya, bulan terlalu sendu seorang diri. Menemani jiwa-jiwa kesepian yang meringkuk di pelataran taman. Aku cemas jika suatu hari, ia memutuskan untuk mati.

Pernah suatu pagi, kapal berlabuh membawa orang-orang dari pulau jauh. Rahim transmigran melahirkan rumah-rumah dan pusat perbelanjaan. Beruntung, seorang perempuan masih mau melahirkan aku. Sebuah keluarga pengembara di muara utara.

Aku hidup di rumah mungil tanpa dinding belakang. Dimana halal haram tidak pernah menjadi perdebatan. Domino, kartu remi, dan dadu-dadu. Aku bernaung di bawah ambiguitas makna polisi yang menggemari hasil judi.

Aku belajar bicara melalui dusta-dusta. Aku membuat origami dari lembaran kupon putih bekas. Aku mengenal probabilitas dengan taruhan bola.

Aku tidak dibesarkan oleh mimbar-mimbar. Kamu sebut kriminal yang aku pahami sebagai kelakar. Rumahku serupa suaka bagi orang-orang dengan kebiasaan -yang kau sebut- paling nista.

Di tempat seperti itu, kebenaran tidak disajikan sebagai kudapan. Sejak peta satu-satunya hanya mengarah ke neraka, aku harus mencari dan harus menyesatkan diri.

Jika sudah begitu, percaya adalah barang mewah yang tak mampu aku beli.

Percaya bagai prasasti yang aku simpan sendiri.

Apakah kamu sudah mengerti?

***

Jakarta, 10 Agustus 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline