Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Cinta yang Tidak Selesai

Diperbarui: 12 September 2018   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Pertengahan April, aku datang padamu. Kamu bahkan tidak perlu meminta perhatianku seperti mereka. Aku lebih dulu menyadari keberadaan sepasang mata di balik dinding, lalu menuju ke sana. Menuju kamu.

Kamu duduk di pojok ruangan, memeluk lutut. Dengan pakaian lusuh, kaki penuh lumpur, berselimutkan aura aneh yang tak kupahami. Bau khas perpaduan matahari, hujan, dan tanah basah semerbak dari tubuh dan rambutmu. Bau alam.

"Siapa namamu?" Aku bertanya hati-hati.

Kamu diam, menatap dinding dan menghindari terciptanya kata "saling". Aku geming sejenak, lalu duduk bersandingan denganmu. Ikut memeluk lutut.

"Kenapa ke sini? Keluar saja, bergembira bersama yang lain," katamu. Aku lega, akhirnya bukan aku yang harus angkat bicara.

"Aku tidak suka bergembira. Terlalu bising," responku seraya menatap matamu. Mata yang tetap menatap dinding, seolah mencari teman bicara yang lebih hening. Aku menahan diri, tak akan banyak bicara jika itu yang kamu suka.

Aku mengalah, lalu kamu menyerah. Kita bukan siapa-siapa untuk mampu membaca hati masing-masing. Kata, terkadang lebih dibutuhkan daripada sekadar rasa.

"Namaku Dani," katamu tanpa menyodorkan tangan laiknya orang berkenalan. "Kamu Cahaya, kan?"

Pertanyaanmu membuatku mengerutkan dahi. "Bagaimana kamu tahu bahwa aku Cahaya?"

"Tanpa perlu bertanya atau mencari tahu, semua orang dapat mengenali cahaya lebih dari dirinya sendiri."

Jawabanmu membuatku terbungkam. Pada saat yang sama, sinar matamu meredup. Rindu memenuhi relungnya, membuat sendu berhamburan ke lantai abu-abu yang sudah menghitam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline