Aku lahir di perbatasan antara rimba dan lautan. Pada tanah megah yang suka mengalah dan benar-benar harus kalah.
Memberi banyak hal, lantas membeli dengan harga mahal. Tanpa mikropon, keluhan kami debu beterbangan. Sementara televisi hanya persoalan Jakarta dan anak kandung negara.
Listrik padam, berarti malam masih panjang. Membuat orang-orang meninggalkan semua yang tinggal mesin dan belajar membuat percakapan. Buku tulis berarti kipas angin. Terang bulan berarti lampu jalan. Bintang-bintang masih muda dan belum sibuk sekarang. Mereka hadir di balai desa, tanah lapang, dan bernyanyi di jalan-jalan.
Tanpa kantor berita dan sosial media, maka tidak perlu banyak bicara. Urusan pilkada, penistaan agama, atau artis siapa menikahi apa, tidak ada bedanya. Orang-orang kota selalu tersesat di antara realita dan linimasa. Lelap di tengah lelah yang cuma kotak sampah.
Mereka melupakan doa, satu-satunya yang murah dan bisa mengubah.
Dalam banyak urusan, kami haram memiliki dendam atau hal-hal kelam yang butuh penebusan.
Istana negara lebih bersabar. Santun dan mau mendengar ocehan tentang harga-harga dan grafik keuangan. Sementara di SPBU, kami tertawa pada sepuluh ribu untuk satu liter bahan bakar. Tidur dan berjalan di atas emas hitam tidak menjadikan kami seorang pemilik.
Kami selalu jadi pelayan, kalian majikan.
Media menyukai kami sebatas tarian dan parade asap tahunan. Sementara rumah-rumah dicuri bayang-bayang hitam diam-diam malam-malam ketika listrik padam.
Sampai di mana, Negara?
Sembari menonton dagelan, aku butuh tujuh tahun untuk memutuskan menjadi anak yang bertanya pada bapaknya,"Kenapa uang tidak dicetak banyak-banyak untuk dibagi-bagikan?"