Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Semua Demi Rinai

Diperbarui: 31 Agustus 2018   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Namaku Hujan. Akulah yang kalian sebut dengan berbagai nama. Mulai dari yang wajar seperti "air mata langit", hingga metafora tentang "langit yang bunuh diri". Sungguh, berlebihan sekali kalian ini. Padahal, aku cuma serpihan awan yang terjatuh karena sudah keberatan badan. Sementara langit masih jauh mengawang tanpa kepastian jarak, yang konon katanya ada tujuh lapisan.

Aku sering dengar, anak-anak menerima doktrin lagu-lagu tentang langit biru dan tinggi. Kalian yakin tidak salah ucap? Langit itu hitam. Kelam. Mistis. Mata kalian saja yang membuatnya nampak biru. Lagipula langit itu jauh, bukannya tinggi.

Tapi, aku mahfum jika kalian tidak tahu apa-apa perkara atas dan bawah. Dimensi ruang dan waktu justru berbatas pada akal yang kalian tuhankan. Demi gravitasi, kalian hanya menempel di bumi seperti wijen pada onde-onde.

Kalian tidak perlu bersungut-sungut ya karena kusamakan dengan wijen. Aku memang bukan hujan yang baik. Kalau kalian pikir semua hujan itu menyenangkan, aku tidak. Aku hujan, dan aku benci kalian. Kalian yang seperti wijen. Kecil dan tidak signifikan. Jatuh dan terlepas tidak berarti. Masih banyak wijen lainnya.

Jengah sekali rasanya mendengar sajak-sajak hujan kosong dan semua yang cuma bualan. Aku menolak gombalan. Lebih baik menerima caci maki, daripada rayuan dari wijen-wijen sok romantis yang memanfaatkan hujan sebagai persona biar dikata manis.

"Tidak perlu diambil hati, dia hanya kesal karena patah hati," seru Angin sambil terkikik menuju lembah.

Aku mendelik kearahnya. Sial, kalimat itu menghujam sekali. Ung... Baiklah, karena sudah terbongkar, aku mengaku saja. Izinkan aku jadi melankolis sebagai katarsis. Aku memang sedang kesal, dan selalu patah hati. 

Pada sosok yang sama, berkali-kali.

Sekali saja, aku ingin melihat dia tersenyum saat aku datang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sejak rintik pertama menyentuh tanah, detik itu pula, raut bahagia di wajahnya sirna. Aku yang menggoda ratusan juta manusia untuk menjadi pujangga, gagal mengambil hati seorang saja.

Rinai, nama gadis itu. Nama yang berkaitan, tidak menjanjikan hati kami bertautan. 

"Aku takut hujan," katanya dengan tegas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline