Lihat ke Halaman Asli

Ketika Pedagang Pasar Tradisional Melihat "Marketplace Online" Bekerja

Diperbarui: 24 Februari 2018   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cminds.com

Di antara situs belanja yang bermunculan pada era digital, marketplace online merupakan bentuk yang paling mirip dengan pasar tradisional. Marketplace online, mempertemukan antara pembeli yang membutuhkan barang/jasa dan penjual yang menawarkan barang/jasa, dalam satu tempat, berupa platform/website. Sederhananya, memfasilitasi pertemuan antara supply and demand.

Namun, meski mengusung konsep yang hampir sama, beberapa penyesuaian membuat dua jenis pasar ini memiliki perbedaan yang signifikan. Contohnya, karena tidak terjadi tatap muka antara pembeli dan penjual, marketplace online biasanya memiliki fitur rekening bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan transaksi. Bahkan, admin marketplace online pun siap menjadi mediator jika terjadi masalah selama proses jual beli.

Sementara itu, pertemuan antara penjual dan pembeli, serta transaksi tunai di pasar tradisional tidak memerlukan hal tersebut. Karena, pembeli dapat mengamati barang dagangan dan melakukan tawar menawar secara langsung. Selain itu, ada kepuasan tersendiri bagi konsumen yang lebih menyukai pengalaman nyata dalam berbelanja.

Kendati demikian, pasar online masih sering disebut-sebut sebagai ancaman bagi eksistensi pasar tradisional. Para pedagang konvensional pun dihimbau untuk melek teknologi dan mau melakukan inovasi. Namun, tidak seperti kisruh antara ojek pangkalan dan ojek online, para pedagang ini tetap adem ayem berjualan sesuai caranya masing-masing.

Benar saja, ada dua alasan utama yang bisa mengamankan keadaan, sekaligus menjadikan kondisi stagnan. Satu, kultur masyarakat akar rumput yang tidak ambisius. Dan dua, keyakinan bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar.

Meski terdengar normatif, landasan tersebut ada benarnya. Marketplace online dan pasar tradisional memiliki konsumen unik masing-masing. Perbedaan pengalaman, harga, dan barang dagangan menjadi diferensiasi dan membangun segmentasi konsumen yang berbeda.

Beberapa komoditas pokok, seperti sayur mayur, daging mentah, kelapa parut, dan banyak jenis barang lain, juga belum populer atau belum lumrah untuk dibeli secara online. Sebagian konsumen Baby Boomers dan Generasi X juga masih setia berbelanja dengan cara lama. Harga yang lebih murah, stok melimpah, dan kebahagiaan konsumen saat melakukan tawar menawar juga sulit tergantikan oleh interaksi di layar telepon pintar. Belum lagi, pedagang-pedagang kecil yang pasti telah memiliki langganan kiosnya sendiri.

Ketika pedagang pasar tradisional, sebut saja mertua saya dan teman-temannya melihat marketplace online bekerja, tidak ada reaksi yang cukup berarti. Selama konsumen masih berdatangan, masih ada keriuhan, masih ada penghidupan, maka semua telah terkendali.

Lain cerita, jika kita membicarakan marketplace jasa online. Baik yang bersifat matching marketplace seperti Beres, atau search marketplace seperti Joorney. Marketplace jasa online seperti dua contoh di atas, menimbulkan lebih banyak tanda tanya, yang bahkan harus dipertanyakan oleh pengembangnya sendiri.

Pertama, bagaimana cara mendatangkan pengunjung?

Marketplace jasa online harus berpikir keras untuk menarik perhatian warganet. Berbagai cara dilakukan untuk bisa menjadi situs andalan, di tengah-tengah persaingan dengan platform kompetitor yang lebih ringan, yang lebih user friendly, dan yang lebih dulu menembus pasar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline