Lihat ke Halaman Asli

Novita Sikome

Love my family

Istri Saya Mau Kudisan atau Panuan, Jangan Pernah Dihina!! (Refleksi tentang Toleransi)

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya benci sekali dengan dia!! Masak Istri saya dikatain KUDISAN?!. Saya akan membela mati-matian istri saya, karena dia adalah istri yang paling saya cintai dan kasihi, lebih dari diri saya sendiri. Bagaimana agar saya bisa membalasnya ya? Oh iya.. Bagaimana kalau, saya bom saja rumahnya, biar sekalian dia mati bersama dengan seisi rumahnya. Biar habis mampus semua keluarganya, biar dia tidak punya rumah lagi!.

Saya ingin sekali menghina dia, agar dia bisa merasakan sakit hati dan rasa malu saya, saya akan mengatakan bahwa, istrinya panuan!! disebelah kiri selangkangan istrinya, biar dia tahu rasa!!. Biar semua orang tertawa dan ikut-ikutan menghina dia, biar dendam dan rasa sakit hati saya terbalaskan. Bagaimana jika saya menulis sebuah selebaran yang bunyinya memberitahu para wartga, bahwa ternyata dia istrinya punya payudara yang miring sebelah, dan ada koreng serta kudis di pantatnya. Pasti semua orang akan tertawa, dan mencibirnya.

Tapi tunggu!! Saya kan tidak pernah melihat panu dan koreng serta kudis istrinya? Ah sudahlah!! yang penting saya sudah bisa membalaskan rasa sakit hati saya. Toh, orang lain juga tidak akan pernah tahu kebenarannya. Lagi pula, memangnya istrinya itu akan mau mengangkat rok dan menunjukkan paha dan pantat serta payudaranya pada semua orang? Tidak kan?!. Cukup dengan sedikit kebohongan, pasti nanti semua akan percaya.

Lalu bagaimana dengan hati nurani saya? sedari tadi dia terus-menerus mengatakan bahwa tidak baik bohong, apalagi untuk dipakai sebagai sarana penghinaan. Hati nurani saya terus mengatakan, bahwa, saya itu tidak tahu apa-apa tentang istrinya, seperti dia juga tidak tahu apa-apa tentang istri saya. Dia hanya bisa menebar dusta dan fitnah, yang tak pantas untuk saya ladeni, karena sebenarnya saya tidak se-level dengannya. Saya tahu bagaimana istri saya, luar dalamnya, dan saya sangat bahagia dengan semua itu. Demikian tak bosan-bosan hati nurani saya terus mengingatkan saya yang masih dirasuk amarah.

Tapi bagaimana dengan hinaan terhadap istri saya itu? Tanya saya pada si hati nurani.

Memangnya kecantikan, kemolekan, kepandaian, kepintaran, kesabaran, milik istrimu jadi berkurang karenanya? jawab hati nurani.

Benar juga, pikir saya. Tapi, bagaimana dengan kata orang? mereka tidak tahu semuanya, mereka hanya akan percaya saja, dan ikut-ikutan menghina kami!.

Karena mereka tidak pernah merasakan kecantikan, kemolekan, kepandaian, kepintaran, dan kesabaran istri kamu, mereka hanya menilai dari luar saja. Untuk apa dipedulikan? Tidak ada gunanya sama sekali, karena hanya akan menghabiskan waktu dan energi percuma saja. Nikmati saja kebahagiaan yang kamu dapatkan bersama istri kamu itu, dan jangan pedulikan semua yang bisa merusaknya! Kata Hati saya menutup dialog satu arah itu.

Apakah memang harus seperti itu? Sejelek-jeleknya istri seseorang, dia tetap adalah seseorang yang sempurna bagi suaminya. Mau kudisan, mau Panuan, mau Korengan, istri saya jangan di hina!

Tapi, saya juga tahu, meski dihina, itu tidak akan mengurangi kebahagiaan saya dengannya, karena dia mampu membuat saya tersenyum dan berbahagia, selalu ada dalam susah maupun duka, selalu menjawab saya dengan sabar, menyayangi dan mengasihi saya dengan tulus. (NS/2013)

(Refleksi tentang arti toleransi)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline