Tak sekali dua kali, saat saya mengaku sebagai mahasiswa jurusan Hukum Keluarga Islam (HKI), orang-orang mengatakan ''Oh ada ya jurusan Hukum Keluarga Islam?.'' Terkadang saya merasa seasing inikah jurusan yang saya masuki?. Memang jurusan HKI tak begitu populer pada kalangan masyarakat secara luas, tidak seperti ilmu hukum, ilmu komunikasi, maupun jurusan-jurusan lain yang menjadi incaran calon mahasiswa. Tapi menurut saya, hal ini tak menjadi masalah, malah mengasyikkan, bagaimana tidak?
Setiap saya menceritakan tentang jurusan saya kepada teman-teman maupun masyarakat yang belum pernah mengenal jurusan HKI, mereka terlihat begitu antusias mendengarkan sambil bertanya-tanya, seolah saya berperan sebagai guru Bimbingan Konseling dadakan. Menariknya, setiap ngobrol masalah HKI, baik itu tentang mata kuliah, prospek kerja, maupun lainnya, selalu diakhiri dengan kalimat ''Jurusanmu asyik, apa kamu gak kebelet nikah? Kan secara teori sudah khatam, tinggal prakteknya saja.''
Aduh, rek. Jangan salah sangka! Saya yakin setiap orang bercita-cita membangun keluarga yang sejahtera, termasuk para mahasiswa HKI. Tapi tidak semua mahasiswa HKI yang setiap hari mempelajari ilmu tentang keluarga itu sudah siap nikah ketika sedang menempuh kuliah atau usia muda, loh.
Stereotipe yang melekat pada mahasiswa HKI tersebut sempat terbayang-bayang dalam pikiran saya selama beberapa hari. Akhirnya stereoripe itu saya jadikan topik perbincangan ketika bertemu dengan teman-teman sesama jurusan. Maklumlah, pekerjaan orang jomblo kalau gak rebahan ya mancing omongan. Ternyata, teman-teman saya juga mengakui bahwa anggapan masyarakat terhadap jurusan HKI itu terkadang lucu. Ada yang mengira bahwa mahasiswa HKI itu cocok jadi dokter cinta, biro jodoh, hingga menganggap pasti siap menikah.
Belajar Seputar Hukum Keluarga Islam malah Mengurungkan Keinginan Nikah pada Usia Muda
''Mempelajari ilmu seputar keluarga membuat saya tidak ingin cepat-cepat nikah, tapi bukan berarti saya ingin hidup sendiri selamanya. Saya merasa ilmu yang saya dapatkan selama ini masih sangat kurang, sehingga saya harus menggali ilmu dengan sungguh-sungguh sebagai pondasi dalam membangun keluarga kelak,'' ungkap Adlin, salah satu mahasiswa cerdas yang merupakan alumni pondok pesantren terkenal di Jawa Timur.
Sejalan dengan pendapat Adlin, saya pun demikian. Setelah saya mempelajari ilmu-ilmu seputar penikahan, baik dalam prespektif Hukum Islam, Hukum Indonesia, hingga Hukum Internasional, kemauan saya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya semakin kuat. Saya bercita-cita untuk bisa melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya di jurusan HKI, jika sudah lulus, barulah nikah. Bagi saya, mata kuliah dalam jurusan HKI sangatlah menyenangkan dan bermanfaat bagi seluruh manusia.
Ada Ushul Fikih, Fikih Munakahat, Hukum Pidana, Hukum Perdata, serta masih banyak lagi. Tentunya, mata kuliah tersebut tidak menjadikan mahasiswa bosan atau mengantuk saat kuliah, seolah sepuluh SKS pun kurang waktunya. Apalagi ketika berjumpa dengan dosen-dosen yang gemar memberikan nasehat dan motivasi kepada mahasiswa, misalnya Bu Muflikhah, dosen Tafsir Hukum Keluarga semester tiga. Ketika Bu Muflikhah memasuki kelas, tak ada mahasiswa yang tidur di pojokan, apalagi kabur ke kantin. Semua antusias mendengarkan penjelesan beliau dan aktif dalam berdiskusi. Diantara nasehat beliau yang selalu kuingat ialah ''Menikah itu membangun cinta, bukan jatuh cinta. Karena jatuh cinta hanya akan membawa kita pada kesakitan.''
Lebih Berhati-hati dalam Memilih Pasangan
Mengkaji tentang maraknya kasus perceraian, mendorong diri kami untuk lebih berhati-hati dalam memilih calon pasangan. Vionita Sakinah mengatakan bahwa kasus ini harus dijadikan evaluasi bagi seluruh masyarakat Indonesia agar tidak gegabah dalam memilih calon pasangan. Jangan hanya melihat pasangan dari ketampanan, kekayaan, apalagi sekedar omongan. Kita juga harus menelisik hal-hal penting yang melekat pada calon pasangan itu, misalnya agama, pendidikan, bibit-bobot, dan lain sebagainya.
Tak Peduli Cepat atau Lambat, yang Penting Tepat