Kalau anda tinggal di sebuah daerah terpencil, lalu bekerja, berumah tangga di sana, sepertinya hidup akan berjalan begitu saja. Tiap pagi anda bangun tidur, bekerja, lalu pulang kerja nonton tivi, sesekali bermain bersama anak, lalu istirahat, untuk kembali bekerja esok harinya.
Jika anda tinggal di sebuah daerah yang terpencil, atau taruhlah, sebuah kota kecil, maka bersiaplah menjadi terlupakan. Barangkali di atas langit-langit kota anda, ada segulung awan gelap, kumpulan sumpah serapah orang-orang di sana, dan sumpah serapah kaum pendatang. Suka tidak suka, tinggal di kota kecil memang harus sering berhadapan dengan keluhan, meskipun di kota besar juga tak kurang keluhannya. Soal transportasi yang buruk, fasilitas air bersih dan listrik yang tidak memadai, hiburan yang sedikit, pertunjukan seni yang amat jarang, tontonan yang itu-itu saja. Bagi pendatang dari kota besar, eksotisme daerah terpencil hanya akan berlangsung singkat saja dalam kehidupan mereka. Lambat laun yang dirasakan adalah, debu jalanan, udara yang panas, nyamuk, listrik byar pet, dan air ledeng yang sering mati.
Mengutip Tim Harford dalam bukunya "logika hidup", kota besar menjadi insentif bagi manusia yang tinggal di sana, karena hembusan angin pengetahuan, yang berputar-putar di dalam kota, dan meniup siapa saja, menyentuh mereka, dan membuat penduduknya lebih sering mendapat ide, berinovasi dan bergerak maju (kira-kira begitu, karena saya tidak melakukan copy paste terhadap tulisan beliau, lebih ke persepsi seingat saya).
Bahkan ia sempat menyatakan, bahwa sebaiknya pemerintah memberi insentif uang kepada korban bencana alam di daerah terpencil, bukan untuk membangun kembali rumah mereka, namun memindahkan mereka ke kota yang lebih maju dan lebih besar.
Lalu bagaimana dengan mereka yang terperangkap di daerah terisolir, yang mencari penghasilan untuk menyambung hidup sehari-hari, bergaul dengan orang yang sama, orang yang itu ke itu saja, jauh dari seliweran ide dan informasi terbaru? Dan bayangkan ini terjadi terus menerus, setiap hari, sampai ajal menjemput.
Awan pengetahuan kelihatannya hanya ada samar-samar di kota kecil. Bagi saya, salah satu jalan keluar untuk mengatasinya, hanya melalui buku.
Terima kasih kepada internet, karena kini tak sulit lagi untuk mencari buku-buku bagus. Jika di toko buku lokal seperti Gramedia (untunglah, sejak dua tahun lalu Gramedia sudah buka cabang di Jambi), tidak ada, kami bisa membeli buku idaman dengan cara online.
Buku mampu mengasah imajinasi, dan mengecas otak setiap waktu. Membuat kita mengetahui apa yang terjadi di luar sana, bagaimana orang-orang berpikir, dan apa yang mampu mereka capai.
Membuat kita sadar, bagaimana lingkungan tempat kita tinggal. Apakah yang perlu dilakukan untuk mengubah, ataupun mengupayakan perbaikan di sana-sini.
Buku juga yang membuatku dulu sering bercerita kepada anakku sebelum tidur. Kisah-kisah Enid Blyton yang ku ubah di sana-sini, lalu dongeng-dongeng klasik lainnya. Kini anakku sudah menulis beberapa lembar halaman, berisi beberapa judul cerpennya. Entahlah apakah akan ada yang menerbitkannya nanti, namun bagiku itu adalah permulaan.
Membuatku menjadi seperti apa adanya diriku sekarang. Melihat ke masa lalu, aku tidak bisa membayangkan kalau aku tidak tersentuh oleh buku. Barangkali aku yang sekarang hanya sekadar menjadi ibu rumah tangga, yang disibukkan oleh pekerjaan sehari-hari yang monoton (sekarang masih, namun aku punya kehidupan di luar itu yang luar biasa, membaca buku), yang bisa menumpulkan otak, (ini lah yang dikatakan harford, melakukan pekerjaan yang itu-itu saja memang membuat anda semakin ahli, namun mematikan syaraf anda mengenai pengetahuan lainnya yang mungkin dulunya anda miliki).