Menghadapi seporsi makanan bukan hanya masalah hidangan, mengait aneka kenangan. Mengudap suguhan melampau dari rute organ awal pencernaan melalui suapan hingga penyerapan zat gizi. Semisal, seporsi Timlo antara memori dan nutrisi.
Memori Timlo
Menyebut kata Timlo menghadirkan kenangan dan kerinduan. Berasosiasi dengan kata ibu, keluarga pun pulang. Ngumpul di sore hari bersama menikmati Timlo racikan kebersamaan.
Sajian Timlo sering dilekatkan dengan Kota Solo, menyatu dengan sebutan Timlo Solo. Racikan dengan sejarah panjang. Akulturasi dari Kimlo, Chinese food. Kehangatannya menerabas batas kesukuan, luluh dengan sebutan Timlo yang lebih mudah diucapkan.
Menyiapkan sajian Timlo memerlukan kesabaran luar biasa. Komponennya lumayan beragam. Pating krentil dan membuatnya riwil itu seruan kami. Sehingga Ibu dengan kasihnya menyediakan bagi kami saat ngumpul.
Hari sebelumnya sudah nyicil komponen. Semisal kripik kentang, kentang diiris tipis dan digoreng hingga renyah kriuk. Sering dilebihkan karena jadi cemilan para cucu.
Begitupun soun digoreng kering kriuk. Perkembangan lanjutnya kami semua rela cukup diseduh air panas tidak harus dicicil awal. Menjaga asupan minyak berlebih.
Lah ini dia, pindang telur kecoklatan. Telur direbus dengan daun jambu klutuk/biji campur kulit bawang merah, hingga terasa kenyal. Perkembangannya juga sering dimodifikasi dengan dimasak semur.
Daging ayam kampung digunakan. Kaldunya memberi aroma rasa gurih yang khas. Daging rebusnya dipotong dadu. Pada beberapa sajian dengan suwiran. Kami terbiasa potong dadu biar beda dengan soto, hehe. Begitupun jerohan ati ampela, kini sering disingkirkan.
Sayuran pastinya akan diracik langsung biar segar. Irisan jamur kuping, wortel dipotong bulat pun kapri hijau segar. Dulu sekali setiap jenis sayuran sedikit ditumis dulu. Kini rela tanpa tumis, Kembali untuk mengurangi minyak.