Semangkuk soto menyuguhkan kehangatan rasa sedap yang lezat. Mampu pula mengait kenangan suatu masa di tempat tertentu. Menyantap soto ESTO menyesap sematan histori transportasi Kota Salatiga.
Soto amatan lensa mata bocah cilik
Kenangan masa kecil, soto kami menyebutnya saoto adalah suguhan yang sesuatu. Sangat jarang ibu menghadirkannya di meja makan. Diperlukan alasan yang sangat kuat untuk menyembelih seekor ayam sebagai pasugatan/suguhan keseharian.
Walhasil, lidah kami mencecap rasa soto saat ngiras atau jajan makan di tempat. Itupun kami perlu ke kota Kecamatan. Warung soto hadir di dekat stanplat (terminal) bus dan pasar Kecamatan. [Aha, sahabat pembaca Kompasiana nyeletuk, tinggalnya di sudut udik mana sih?]
Aroma sedap menyebar dari kuali yang dijerang di atas anglo. Paduan rempah daun salam, kunyit, serai dan daun jeruk purut sungguh menggoda. Mata bocah cilik terbelalak mengamati kesigapan tangan penjualnya.
Diciduknya setengah centong nasi. Pluk.... teronggok di mangkuk, ditambahkan sejumput soun, kecambah. Sejimpit suwiran daging ayam puncak kemewahan. Yup suwiran bukan irisan, disuwir sangat halus mengikuti serat daging. Biar babar alias rowa atau sangat irit sejimpit.
Saatnya irus sendok sayur berbahan tempurung kelapa beraksi. Disiramkannya kuah soto ke mangkuk tatanan sajian. Pyuur, sejimpit irisan daun sledri dan bawang goreng ditambahkannya.
Semangkuk soto siap disantap dengan sendok bebek. Tersedia sambal pun kecap di meja. Begitupun lauk tambahan bila diinginkan.
Soto ESTO sematan histori transportasi Kota Salatiga
Seiring waktu dan pengertian, soto bukan hanya semangkuk makanan. Menjadi identitas budaya kuliner berbagai kota. Bagian daya tarik kedatangan pelancong dan nostalgia.