Tapa pepe atau tapa jemur bagian dari ritual berbasis kearifan lokal. Mari mengulik kontekstualisasi ritual laku tapa pepe atau tapa jemur dalam situasi kekinian.
Laku Tapa Pepe
Sejarah kehidupan bernegara dan bermasyarakat mencatat dinamika aduan protes. Tidak selamanya pimpinan dan pemerintahan senantiasa memenuhi harapan semua lapisan masyarakat. Aneka saluran dan cara melakukan protes pun usulan perbaikan.
Tentunya sesuai dengan kelokalan waktu dan tempat. Alias sesuai dengan tata budaya dan perkembangan zaman. Salah satu yang menggelitik untuk disimak adalah ritual atau laku tapa pepe. Lafal pepe adalah e taling seperti pada kata sate dan tempe.
Tapa pepe berasal dari kosa kata bahasa Jawa yang senada dengan tapa jemur. Kegiatan duduk bersila berjemur di bawah sinar matahari. Dilakukan sebagai bentuk unjuk rasa atau penyampaian pendapat.
Tapa pepe dilakukan oleh rakyat ketika penguasa atau pemerintah membuat suatu kebijakan yang tidak adil atau tidak disukai oleh rakyat. Jadi ada prakondisi yang melatarbelakangi tindakan. Bukan protes untuk keperluan personal namun komunal.
Kearifan lokal warga, upaya rakyat kecil kawula alit menyampaikan aspirasi kepada pimpinan. Warisan budaya kerajaan Mataram baik Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta. Upaya mencari keadilan melalui aduan yang diperkenan oleh Sultan.
Laku atau ritual ini hidup pada pemerintahan kerajaan. Hingga pertengahan abad ke-20, terdokmentasikan tapa pp masih banyak dilakukan di desa-desa di Jawa. Bahkan secara berkala dan sporadis aksi tapa pp masih dilakukan dalam beberapa demo di masa kini.
Tatacara Laku Tapa Pepe
Tujuan laku tapa pepe adalah penyampaian protes atau usulan perbaikan. Tentunya juga mengikuti tatacara yang berlalu. Baik yang termaktup ataupun paugeran atau tatanan sosial yang berlaku.