Lihat ke Halaman Asli

Suprihati

TERVERIFIKASI

Pembelajar alam penyuka cagar

Kartini Kompasianer Kontekstual Keren

Diperbarui: 10 April 2021   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrani Kartini Kompasianer (sumber gambar dari Kompasiana.com)

Menjiwai semangat Kartini bukan sebatas seremoni. Kontekstualisasi Kartini upaya menghidupi perjuangannya. Kartini melakoni pembelajaran daring. Sosok yang bertindak lokal berpikir global. Eh beliau juga Kompasianer kontekstual keren. Ini ceritanya.

Kartini melakoni pembelajaran daring

Kartini kelahiran Jepara 21 April 1879, sungguh bocah perempuan dan perempuan muda yang luar biasa pada zamannya. Memiliki pancaran naluri rasa ingin tahu yang meluap. Kepo istilah kekiniannya.

Pendidikan formal ditempuhnya hingga usia 12 tahun, sebelum memasuki masa pingitan. Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Kesetaraan saat ini senada usia lulus Sekolah Dasar (SD). Apakah kemampuan Kartini terpatok oleh capaian pembelajaran usia tingkat SD? Kapabilitas menabrak batas pendidikan formal.

Rasa ingin tahu yang tidak semua mampu ditampung di hati dan pikirannya. Memenuhi membuat nyesek jiwanya, overthinking mungkin kini sebutannya. Namun beliau tidak berhenti pada galau.

Keingin tahuan, rasa prihatin yang mencoba dicari celah jalan keluarnya. Beliau mencari jawaban melalui bertanya jawab. Membaca aneka sumber pengetahuan. Hingga aktif berkomunikasi bersuratan. Tidak selalu direspon positif pertanyaan dan gagasan beliau. Tidak menyerah kala dighosting pastinya.

Masa pingitan adalah masa sekolah Kartini secara mandiri. Tanpa tatap muka pendampingan oleh guru. Kartini memperkaya batin dengan mencari dan menikmati sumber belajar tatap muka. Nah kan Kartini menjalani masa pendidikan model 'daring' pada zamannya.

Bukan masalah daring dari sisi teknologi. Pembelajaran daring dari sisi filosofi mandiri siswa aktif belajar. Menjadikan aneka sumber belajar sebagai patron gurunya. Buku, majalah, koran hingga korespondensi adalah sarana belajar mandiri.

Bertindak responsif tidak melulu reaktif. Berperilaku sesuai budaya zamannya melalui interaksi sesama perempuan. Apabila muncul sebutan feminis tergantung pelabelan kita. Perempuan sebagai media beliau berkarya. Kerangka besarnya memanusiakan manusia seutuhnya.

Memanfaatkan teknologi informasi komunikasi (TIK) pada zamannya. Bukan hanya mengandalkan budaya dengar tutur. Merambah ke area baca tulis. Surat kabar, majalah hingga bersurat lokal, nasional hingga internasional. Padanannya kini, beliau tidak asing dengan surel (email), buku elektronik (ebook), pun siniar (podcast).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline