"Hwaduh, nDhuk Limbuk, simbok sedang sibuk membuat jamu peningkat stamina penangkal virus Corona. Kenapa tha, koq heboh?"
Gendhuk Limbuk menggandeng nyaris menggeret simbok Cangik duduk di amben/dipan dapur. Talenan lipat yang disebutnya laptop sedang menayangkan Blogshop Optimasi Konten Blog Kamu di Kompasiana.
"Itu mbak Widha Karina, content superintendent Kompasiana sedang berbagi A -- Z Kompasiana."
"Walah, siapa sih Ndhuk? Bintang film ayu, ya?"
"Beliau punggawa Kompasiana, orang penting gitu loh."
"Asyik...mbak Widha bilang, boleh menulis dengan bahasa yang tidak terlalu formal, gaya kebun boleh nih, mbok."
Teringat saat Mbok Cangik mengingatkan Limbuk tentang gaya berbahasa yang diterapkan. Limbuk menggunakan gaya komunikasi ala kebun. Tanpa menggunakan pakem yang pas. Ada kalanya melanggar tata bahasa baku.
Limbuk ngeyel menggunakan rasa bahasa sendiri. Meyakini bahwa bahasa adalah bagian dari cara menyapa pembacanya. Mengedepankan pada seni meracik bahasa tanpa mengesampingkan kaidah berbahasa.
Limbuk menyadari gaya bahasa setiap penulis di Kompasiana sangat khas. Tidak bakalan mampu meniru rasa bahasa penulis lain. Banyak penulis bergaya bahasa renyah, enak dicerna dan membuat pembaca nagih. Penulis lain menulis dengan topangan data dengan ketepatan tinggi.
Rasa bahasa kebun yang dikenal oleh Limbuk dalam keseharian. Itu pula yang dituangkan melalui tulisan di Kompasiana. Sungguh terhibur hatinya saat Mbak Widha mengemukakan pilihan gaya berbahasa.
Setiap kali simbok Cangik mengingatkan untuk membaca buku Bahasa Indonesia dari perpustakaan Dewi Saraswati, dewi pengetahuan, Limbuk sering mengelak. Sambil menghibur diri akan tetap belajar cara berbahasa dari banyak begawan di Kompasiana.