Lihat ke Halaman Asli

Suprihati

TERVERIFIKASI

Pembelajar alam penyuka cagar

"Prepekan" dan "Mipik" dalam Kenangan Ramadan

Diperbarui: 3 Juni 2018   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ratusan pengunjung membanjiri Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat. Foto/Dok/SINDOnews

Kosa kata yang tak lekang dari kenangan ramadan adalah prepekan dan mipik. Prepekan menunjukkan mepetnya tenggat waktu, membludagnya pembelanja jelang hari lebaran. Mipik, awalnya sebutan pada kegiatan membeli pakaian baru dari baju, sepatu hingga perhiasan, kini diperluas menjadi perabot rumah tangga hingga kendaraan. Kegiatan prepekan dan mipik sering berlangsung bersamaan.

Prepekan dan mipik kenangan masa kecil

Bagi kami, bulan Ramadan masa kecil di lereng Barat G. Lawu sungguh berkesan. Pagi buta hingga usai subuh, iringan obor yaitu lentera dari buluh bambu bersumbu berisi minyak tanah sudah mulai. Iring-iringan dari kelompok kecil hingga rombongan ramai dari desa menuju pasar Kecamatan yang lumayan jauh. Bapak Ibu sering membangunkan kami untuk menikmati iring-iringan yang melewati jalan di depan rumah.

Variasi iring-iringan yang menarik. Ada yang menuntun kambing, mbeekk...mbeekk.. Ada nada kwek kwek dan suara ayam dari rombongan ibu-ibu menggendong tenggok/bakul  berisi itik atau ayam. Tepatlah sebutan rajakaya, ternak yang menjadi cadangan, tabungan yang akan dijual saat membutuhakan uang tunai.

Beberapa lelaki memikul hasil bumi untuk dijual dan mipik baju baru bagi anak-anaknya. Keriuhan yang menularkan kegembiraan, berjalan berombongan sambil bercerita. Sering juga diikuti oleh para kanak-kanak yang akan dibelikan pakaian, kan pemakai harus mencoba biar pas. Saat itu belum terlalu umum ukuran S, M, ataupun L.

Setelah terang tanah rombongan yang lewat berbeda ragam, dengan jinjingan yang lebih ringkas dan diiringi oleh anggota keluarga yang mudik dari kota. Karena sudah terang beberapa langsung menyapa kami, "mangga Mas Mantri...." Pemuda yang lebih rapi gaya kota-pun menyalami Bapak sambil mengabarkan pekerjaannya di kota.

[Di desa kala itu, Bapak yang bekerja sebagai guru disapa Mas Mantri Guru...bukan mantra suntik loh] Entah mengapa saat itu kami tidak pernah tertarik mengamati perarakan baliknya, mipik apa saja dari prepekan pasar.

Tradisi prepekan sangat khas. Aturan hari pasaran sesaat dilanggar, karena selama sepekan adalah hari pasar dari Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing sama saja ramainya. Biasanya setiap pasar memiliki hari pasaran-nya sendiri. Di Solo masih ada nama Pasar Pon, Pasar Legi dan Pasar Kliwon.

Kalau kami kecil bertanya kepada Bapak dan Ibu mengapa orang mipik di masa prepekan, bukankah pasarnya sangat penuh? Beliau menjawab bahwa pertama Kanjeng Nabi belum marengake (mengizinkan) dan kedua, kurang ilok berbelanja saat anggota keluarga yang jauh belum datang.

[Baru kemudian setelah kami agak besar dijelaskan, bahwa hakekat ibadah puasa ada pada bagian pengendalian diri. Pun uang yang dipergunakan saat belanja menunggu dari anggota keluarga yang mudik dari boro di kota besar. Ooh..begitu... Atau kini yang dimaknai dengan pemerataan? Mencari rezeki di kota dan membelanjakannya di daerah]

Prepekan dan mipik ala kami

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline