Ada yang belum tuntas dalam pemikiran saya menanggapi isu tentang penghinaan karikatur Nabi Muhammad yang kemudian menjadi masalah panjang yaitu pembunuhan pada sang guru yang menyuruh menggambar, kebebasan pers Charlie Hebdo , pembelaan Presiden Perancis, hingga boikot produk-produknya. Dalam tulisan saya sebelumnya yang menentang sekulerisme tentu tidak juga berarti menyetujui radikalisme. Maka dalam tulisan kali ini saya ingin melengkapi dan mengakhirinya.
Menjadi muslim di negara mayoritas beragama Islam seperti di Indonesia mungkin tidak terlalu merasakan dampak yang serius terhadap sikap sosial politik yang ditampakkan oleh Emmanuel Macron. Tapi akan berbeda cerita bila menjadi muslim minoritas seperti Rohingya, Uyghur, dan etnis lain di belahan bumi lain yang mendapatkan perlakuan diskriminasi di negara yang sudah nyinyir dengan muslim atau kita kenal dengan Islamophobia. Islamophobia mencuat sejak peristiwa 9/11 2001 hingga sekarang sulit untuk dihilangkan alasannya karena ISIS dengan fahamnya yang serupa masih merajalela di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia.
Dalam perspektif saya, muslim saat ini menghadapi tiga tantangan yang perlu diketahui dan diwaspadai antara lain : Radikalisme, Sekulerisme, dan Stigmatisasi.
1. Radikalisme
Radikalisme menjadi tantangan nyata karena dapat berakibat memunculkan terorisme. Meskipun tidak selalu berujung terorisme, namun faham radikal ini cukup mengkhawatirkan. Mengapa dapat mengkhawatirkan? Karena dapat mengganggu stabilitas sosial bahkan politik seperti abai terhadap peratuturan pemerintah dan norma sosial serta tata karma masyarakat.
Meski demikian, menilai seseorang atau suatu kelompok dengan sebutan tersebut juga perlu berhati-hati. Disinilah bentuk dualisme dari faham radikal, jangan sampai hanya menghakimi sekedar melalui tampilan fisik padahal orang atau kelompok tersebut sebatas ingin menjalankan sunah/ keislamannya secara Kaffah/murni tanpa ada maksud menyakiti siapapun apalagi kearah teror.
2. Sekulerisme
Jika dalam artikel sebelumnya saya memaparkan sejarah sekuler barat adalah trauma historis pada Kristen. Sekulerisme di Indonesia hampir mirip dengan barat yaitu salah satunya kekecewaan terhadap radikalisme Islam. Meskipun dipengaruhi banyak faktor lain juga seperti tekanan ekonomi, permasalahan kesehatan mental, faham materialisme dan sebagainya.
Sekulerisme ini tidak bisa disepelekan sebab akar kejahatan seperti kasus narkoba, pelacuran, LGBT, korupsi, dan sebagainya di Indonesia yang sampai sekarang tidak ada habisnya adalah akibat dari fenomena orang "Islam KTP", sebuah bentuk pengingkaran terhadap moral penting dalam agama yang seharusnya menjaga akidah dan akhlak namun tidak diindahkan.
3. Stigmatisasi
Radikalisme dan Sekulerisme merupakan faktor permasalahan internal di dalam umat Islam, sedangkan stigmatisasi adalah permasalahan dari luar Islam terhadap penganut Islam. Stigmatisasi merupakan akibat atau respon dari faham radikalisme dimana masyarakat dunia atau diluat Islam terlanjur menganggap Islam sebagai agama kekerasan yang harus diperangi. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan spirit Islam sendiri yang Rahmatan Lil Alamin.