Pada 1963, ia dituntut atas parasitisme sosial oleh pemerintah Uni Soviet. Kutipan terkenal dari catatan pengadilan Joseph Brodsky:
Hakim: "Siapa yang memutuskan Anda seorang penyair? Siapa yang mengurutkan Anda sebagai penyair? Sudahkah Anda belajar puisi di sebuah institusi? Sudahkah Anda bersiap menghadapi kuliah perguruan tinggi di mana Anda diajari menulis puisi?"
Brodsky: "Saya pikir puisi bukan berasal dari pendidikan."
Hakim: "Lalu asalnya dari mana?"
Brodsky: "Saya kira asalnya dari tuhan."
Kutipan terkenal itu mungkin akan memberi kita semacam kesadaran bahwa puisi tidak terkungkung institusi yang memberinya makna, mendefinisikan lingkup dan penulisannya, bahkan terbebas dari beban aturan. Bahkan perlu diperjuangkan untuk tidak tunduk pada, sekadar, konvensi penciptaan yang sudah-sudah. Inilah yang mungkin dicari para penyair dengan menampilkan semacam keanehan-keanehan.
Saya selalu suka mengingat kata-kata Brodsky itu, (puisi) asalanya dari tuhan (hmm, tidak sudi menulis dengan T). Brodsky mungkin setengah bercanda, setengah serius, atau mungkin tidak keduanya. Tapi, sebagian kita mungkin percaya bahwa puisi asalnya dari tuhan. Meskipun hanya kitab suci yang (diklaim) berasal dari tuhan. Puisi lahir tetap dengan atas nama manusia, atas nama penyair, atas nama yang fana. Toh itu tidak menghalangi kebenaran-kebenaran (jika mampu kita baca) dalam puisi.
Bagi saya, klaim Brodsky itu terkait dengan kemerdekaan penyair untuk memberi definisi pada kenpenyairannya. Kalau kita tanya pada dua penyair tentang apa itu puisi, akan ada dua jawaban berbeda. Demikian juga kalau kita tanyakan pada seratus penyair, maka akan ada seratus jawaban beda. Hanya anak sekolahan yang mampu menjawab dengan seragam, sebab mereka ditundukkan negara yang merasa berhak mendefiniskan segala sesuatu.
Dan itu penting. Ketertundukan akan membuatmu tampak seperti anak sekolahan, hanya akan mengulang-ulang pelajaran mengenai ungkapan, mengenai pepatah, yang tak pernah berubah selama beberapa dekade. Kau hanya akan tampak seperti buku pelajaran kumal yang masih merasa tampan di depan cerminmu sendiri.
[kredo]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H