Sore yang tentram, seperti anak senja pada umumnya, tiba-tiba saya teringat materi pelajaran waktu SMP dulu. Tak disangka, memori saya berputar waktu dahulu duduk di kelas mendengarkan Bu Guru berbicara tentang salah satu kesenian. Karena kebetulan saya tinggal di Cirebon, saya masih ingat Beliau bercerita dengan antusias makna dan filosofis dari Tari Topeng Cirebon.
Saya pun lantas meneliti kembali, dan sekali lagi kagum akan hebatnya pendahulu kita membangun sebuah kesenian yang sarat akan makna. Seakan tujuan akhir seni bukan hanya hiburan semata, tetapi juga nilai kehidupan yang cukup patut diaplikasikan.
Kembali ke Tari Topeng Cirebon, saya ingat Bu Guru berkata bahwa filosofi dari Tari Topeng Cirebon adalah alur kehidupan manusia dengan perkembangan watak yang berbeda, seperti kita yang melewati fase remaja hingga menjadi dewasa.
Topeng Panji yang dominan berwarna putih dan fitur wajah yang kecil menggambarkan kesucian tanpa noda, seperti bayi yang baru lahir. Fase kanak-kanak digambarkan dengan Topeng Samba yang memiliki gerakan lincah dan ceria. Masa remaja diwakili oleh Topeng Rumyang dengan watak terbuka dan halus.
Beralih ke Topeng Tumenggung yang menggambarkan sifat gagah, setia, dan berani dari seseorang yang dewasa. Sebaliknya, Topeng Klana menggambarkan angkara murka yang mengendalikan hawa nafsu manusia. Memang betul, bagi saya figur Topeng Klana cukup menakutkan dengan muka merah, kumis tebal, dan mata yang melotot.
Kesenian sebagai Media Diplomasi
Berdasarkan jurnal yang ditulis Lasmiyati (2011), Tari Topeng Cirebon sendiri muncul seiring dengan perkembangan agama Islam, khususnya di pulau Jawa. Sunan Gunung Jati yang kala itu dimusuhi Pangeran Welang, alih-alih melawan dengan kekerasan, beliau menggunakan kesenian sebagai jalan diplomasi.
Hasilnya, Pangeran Welang terpikat dengan penari topeng (Nyi Mas Gandasari) dan memutuskan untuk masuk Islam. Semenjak itu, Tari Topeng dikenal masyarakat dan menjadi salah satu media dakwah agama Islam.
Kesenian sebagai Media Penyebaran Agama
Tari Topeng Cirebon sendiri memiliki filosofi yang beriringan dengan nilai-nilai agama. Hal tersebut merupakan hasil dari pemikiran para Wali dalam menyebarkan Agama Islam di pulau Jawa, terutama di daerah Cirebon.
Kearifan Para Wali untuk mempertahankan budaya lama (Hindu-Budha) membuat agama Islam cukup diterima masyarakat pada kala itu.
Peralihan makna Tari Topeng Cirebon yang dapat dikatakan berhasil, menambah keyakinan saya betapa hebatnya tokoh dahulu. Penetrasi sebuah keyakinan dalam kesenian terbilang efektif untuk mencapai tujuan mereka. Bahkan, makna tersebut masih dipegang sampai sekarang (dalam hal akademik tentunya), entah di kehidupan sehari-hari.
Akhir kata, dari salah satu jurnal yang saya baca, makna sebuah kesenian bisa berubah sesuai dengan zamannya dan sesuai dengan orang yang memaknainya (Yuhanda 2019), lantas Tari Topeng Cirebon akan dimaknai seperti apa oleh kita? Terutama di era modern yang penuh distraksi dari notifikasi.