Ada pepatah yang mengatakan, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dalam konteks pengelolaan hutan terutama yang memproduksi berbagai jenis kayu untuk kebutuhan ekonomi masyarakat mungkin pepatah tersebut masih bisa dipakai, meskipun sebenarnya terlambat. Mengapa terlambat? Entah karena negara yang kesulitan membagi peran dan fungsi seluruh lapisan masyarakat, atau mungkin kala itu sebagai bangsa kita belum mampu sehingga menyerahkan pengelolaan hasil hutan kayu pada orang yang pandai, bukan pada masyarakat desa atau dusun yang tidak mengenyam sekolah tinggi. Buktinya, berbagai peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh RI mengedepankan kemampuan sektor swasta dengan memberikan izin praktik HPH kemudian HTI dalam memanfaatkan hasil hutan kayu.
Tidak masalah.
Kekeliruan, kesalahan, ketidakmampuan, dan sejenisnya membuat manusia terus belajar dan memperbaiki diri. Lima tahun yang lalu disahkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.83 Tahun 2016 mengenai Perhutanan Sosial. Sesuai judulnya, peraturan menteri itu jelas berpihak pada masyarakat. Kini hutan Indonesia yang tadinya porak-poranda akibat kekurangan dalam implementasi Kebijakan HPH-HTI direbut kembali melalui skema hutan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebanyak 12,7 juta hektar kawasan hutan negara dialokasikan untuk dikelola bersama masyarakat melalui Perhutanan Sosial (PS) dengan harapan dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat berbasis kehutanan yang dahulunya sulit dijangkau. Tak hanya itu, kapasitas masyarakat dalam industri kehutanan khususnya petani juga diharapkan dapat meningkat sehingga mampu mengusahakannya secara komersial. Kehadiran PS sebenarnya juga ditujukan untuk menjawab tantangan kebutuhan kayu nasional melalui kebijakan pengelolaan kayu rakyat.
Kayu rakyat merupakan salah satu sumber industri kayu potensial di Indonesia yang berasal dari kebun rakyat, hutan rakyat, ladang, tegalan, kebun campuran, atau lahan milik rakyat lainnya. Disebut potensial karena akibat kerusakan hutan, Perhutani dan hutan produksi di luar Pulau Jawa ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku bagi masyarakat dan industri perkayuan.
Sayangnya, basis data mengenai tata kelola, pemasarannya di kalangan masyarakat termasuk regulasinya di tingkat desa belum banyak tersedia. Selama ini spesies tumbuhan hutan penghasil kayu di Lampung Selatan misalnya, dikelola secara tradisional dan mandiri dengan tumpangsari untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Contohnya saja menurut Herwanti tahun 2015 dalam publikasi ilmiahnya ada 17 jenis tumbuhan berkayu yang digunakan sebagai bahan kayu pertukangan dan konstruksi ringan seperti Jati (Tectona grandis), Medang (Litsea odorifera), Waru gunung (Hibiscus macrophyllus), dan jenis multi purpose tree species (MPTS/pohon serbaguna) seperti Durian (Durio zibethinus) dan Alpukat (Persea americana) tumbuh bersama Kakao (Theobroma cacao), Kopi (Coffea arabica), dan Pisang (Musa spp.) dalam satu areal kelola/kebun milik rakyat. Potensi kayu saja menurut riset ini mencapai 156,58 meter kubik per hektar.
Contoh itu adalah sebagian kecil dari hasil riset yang tersedia. Kala itu masih sangat sedikit data dan informasi mengenai potensi kayu rakyat bagi ekonomi kehutanan. Hadirnya riset bertajuk Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia merupakan salah satu upaya mendorong usaha kayu rakyat sehingga dapat mendukung tujuan dan penguatan Program PS. Pemerintah Indonesia melalui Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan khususnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) bekerjasama dengan Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) melakukan riset skala nasional ini sejak tahun 2016 hingga 2021 di lima daerah di Indonesia yang juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam tata usaha kayu rakyat.
Tata kelola usaha kayu rakyat membutuhkan regulasi, tak hanya di tingkat pusat dan daerah, tetapi juga di tingkat desa. Mengapa? Karena dalam mengelola hutan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dibutuhkan gerakan langsung di tingkat tapak yang menjadi acuan bersama sehingga lebih mudah dan feasible untuk dilaksanakan. Peraturan desa atau dapat disingkat dengan perdes tak hanya sekedar peraturan penegakan hukum yang berisi aturan boleh dan tidak boleh, bisa dan tidak bisa, harus kesini atau harus kesitu. Perdes hadir dengan banyak dukungan dan penguatan, mulai dari sisi 1) jaminan terhadap kepastian bibit yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja, 2) peningkatan kapasitas petani hutan rakyat, 3) membantu memberdayakan ekonomi lokal, 4) mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menanam, 5) memfasilitasi atau mendorong upaya pendanaan kegiatan pengelolaan hutan rakyat, hingga 6) tersedianya data spesies tumbuhan berkayu yang dikelola masyarakat.
Tentunya mendorong terbitnya Perdes tidaklah mudah. Keberhasilan program riset CBCF di Indonesia dalam menginisiasi terbitnya Perdes yang mendukung tata kelola kayu rakyat patut diancungi jempol. Pasalnya, Peraturan Desa Malleleng Nomor 7 Tahun 2019 yang berhasil diterbitkan dengan kolaborasi antar pihak akan dapat semakin meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam mengelola dan meningkatkan tata usaha kayu rakyat di lahan miliknya. Semoga.
#P3SEKPI
#Kementerian LHK