Lihat ke Halaman Asli

Novriyanti Nov

Kadang ngajar, kadang masak, kadang momong

Bodohnya Bangsa yang Cerdas

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ada dua siaran televisi hari ini yang membuatku sedih bercampur marah, kesal, dan merasa bodoh. Pasalnya dua siaran tersebut meninggalkan bukti bahwa kita merupakan bangsa yang seolah-olah pintar tetapi bodoh. Karena apa? Karena pejabat pemerintahannya begitu.

Pertama, talk show yang bertema "Teknologi untuk Kemajuan Bangsa". Pada acara ini bahasan yang digulirkan ialah sisi positif tenaga nuklir yang direncanakan akan digunakan di Indonesia pada 2017 mendatang. Bahasan ini jelas berorientasi proyek, dan sangat yakin bahwa hal ini akan berujung pada dukungan terhadap konsep ketahanan pangan yang jelas-jelas mendukung investasi komersil perusahaan besar. Isu penggunaan tenaga nuklir bagi pembangkit listrik hanyalah isu sementara sebelum nanti pada kenyataannya publik akan digiring agar menyetujui (secara terpaksa) beredarnya tanaman transgenik. Alasan pemerintah ialah agar kita dapat terlepas dari kekurangan pangan, angka kemiskinan menurun, dan para petani menjadi mudah pekerjaannya.

Kedua, berita siang ini yaitu pengrajin kedelai yang marah-marah sambil menyerakkan beras di tanah sebagai bentuk kekecewaan dan rasa frustasinya atas menurunnya nilai tukar rupiah hingga mengakibatkan mahalnya harga kedelai. Sebenarnya bukan hanya karena anjloknya rupiah, namun ada satu hal yang sangat memalukan yang mendasari kejadian ini. Kegemaran pemerintah menjadikan kita sebagai bangsa yang rajin impor merupakan akar masalah dari segala masalah yang ada.

Kedua peristiwa yang disajikan televisi tersebut benar-benar menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya kita tidak terlalu cerdas menjadi sebuah bangsa yang besar. Kita tidak terlalu paham dengan kebangsaan kita sendiri sehingga tidak pernah benar-benar berniat mencerdaskan bangsa ini. Sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Andai saja niat mencerdaskan bangsa tersebut tulus, tentu tidak akan ada kebijakan penggunaan nuklir sebagai pembangkit listrik. Pemerintah jangan hanya menjelaskan hal-hal yang baik saja tentang ini. Limbahnya bagaimana? Bahan baku produksi nuklirnya dari mana? Sebenarnya kita bisa tanpa harus menggunakan bahan baku dan teknologi sewa dari luar. Banyak teknologi kecil berguna di desa-desa yang mampu membangkitkan listrik. Belum lagi jika lebih jauh isu ini merupakan pengalihan sementara agar isu ketahanan pangan yang hanya berpihak pada perusahaan-perusahaan pertanian multinasional dapat masuk dengan mulus. Kita akan menjadi bangsa yang terjajah (lagi) karena ketergantungan kita terhadap bangsa lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika stok habis, maka matilah kita.

Kita bukannya tidak bisa dan tidak mampu memenuhi kebutuhan vital dari hasil pertanian sendiri. Kemampuan tersebut yang disebut sebagai kedaulatan pangan, bukan ketahanan pangan. Akan tetapi sesungguhnya kita tidak mau melakukannya karena pejabat takut tak kebagian duit dari berbagai proyek pengadaan barang dan jasa dari luar. Inovasi-inovasi yang dihasilkan pasti aneh-aneh dan sama sekali tidak melibatkan masyarakat kecil. Padahal pasti, beragam kebijakan pemerintah tak akan pernah dirasakan langsung oleh minoritas masyarakat kaya dan menengah ke atas, melainkan oleh masyarakat kecil yang jumlahnya lebih dari 50 persen di negeri ini. Tak ada sepertinya pikiran yang mendalam mengenai hal ini di otak para pemimpin dan pengambil kebijakan negeri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline