Lihat ke Halaman Asli

Novrita Financial Planner

TERVERIFIKASI

Finance Director at PT Kelsey Indonesia

Gadis Cilik dan Penjual Somay

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini cuaca cukup cerah ketika saya berangkat beraktivitas. Kemacetan tidak terlalu menjengkelkan… sewajarnya lah karena memang banyak sekali kendaraan yang melaju di jalan raya. Dan saya sengaja memilih rute melewati jalan-jalan kecil yang sering disebut jalan tikus, untuk menghindari kepadatan lalu lintas di Jakarta. Siapa tahu tiba-tiba di depan macet, kebetulan hari ini akan ada demo besar-besaran.

Selagi saya mengemudikan mobil dengan santai, pandangan saya tertarik pada sosok penjual somay. Apa istimewanya ? Toh memang seperti biasa di jalan tersebut banyak pedagang somay yang mendorong gerobak untuk menuju ke tempat mangkalnya. Tapi sosok yang membuat mata saya tertuju adalah karena ada seorang gadis cilik berjalan mengikuti langkah si abang tukang somay. Kenapa tertarik? Sepengetahuan saya yang sering membawa anak selagi bekerja adalah seorang wanita. Anak biasanya lebih dekat dengan ibu. Tapi kali ini kok si anak kelihatan enjoy berjalan mendampingi sang ayah untuk bekerja.

[caption id="attachment_63114" align="aligncenter" width="300" caption="Menemani ayah berjualan somay"][/caption]

Segera saya tepikan mobil dan mencoba untuk mengorek info untuk memuaskan rasa ingin tahu. Sekedar berbasa-basi, saya pesan seporsi somay, dibungkus saja. Selagi si abang somay menyiapkan pesanan, saya ajak dia berdialog.

“Anaknya ya bang ? Mau ikut jualan ?”

“Iya…”, jawabnya tanpa berpanjang kata.

Saya tanya lagi ,“Gak cape nih anaknya ikut jalan begini ?”

“Sudah biasa bu. Dia yang mau ikut.”

Sembari bercakap dengan sang ayah, saya juga mencoba menyapa si gadis cilik. Namun rupanya dia masih malu, tak sepatah kata terucap darinya.

“Kok gak sekolah?” tanya saya lagi. Kelihatannya usia si gadis mungil ini sekitar 5 tahun, dan sudah masanya usia sekolah.

“Sudah kok bu. Tapi di sini belum. Baru seminggu datang dari kampung”, jawab si abang somay. Ketika ditanya dimana kampungnya, dia jawab dari Garut.

[caption id="attachment_63117" align="aligncenter" width="300" caption="Cindy namanya... "][/caption]

Cuma saya masih heran, kenapa si anak bukannya tinggal sama ibunya di rumah saja. Dan saat saya tanyakan hal tersebut, si abang somay hanya menjawab ibunya sudah tidak ada. Tanpa ada penjelasan apa-apa. Dengan jawaban tersebut rasanya kok lidah saya tercekat. Mau tanya maksudnya tidak ada itu apa, sudah meninggal atau memang bercerai atau apa…. Wah tidak tega mau bertanya lebih jauh. Perasaan saya mengatakan sebaiknya saya tidak menelisik terus. Kelihatannya nanti malah membuat anak dan ayah tidak nyaman.

Si gadis cilik yang pendiam dan pemalu itu, cukup manis dan bersih penampilannya. Dengan rambut panjang terurai dan tersisir rapi, membuatnya enak dilihat. Wajahnya mirip dengan sang ayah, sehingga tidak perlu bahwa disangsikan mereka adalah ayah dan anak. Waktu ditanya siapa namanya, bibirnya masih saja terkatup tak bersuara. Hanya sang ayah yang menjawab “Cindy”.

Menurut si abang somay, Cindy memang selalu ikut berjalan menuju tempat mangkal berjualan somay. Padahal cukup jauh juga lho, dari daerah cipete ke arah kemang. Mungkin karena di rumah tidak ada yang mengurus, maka ikutlah Cindy menemani sang ayah berjualan somay.

Saya tersentuh dengan keadaan mereka. Sebagai orang tua tunggal, mungkin dia berpikir pada prinsipnya adalah sama, yaitu sama-sama bertanggungjawab terhadap anak. Sebagai ayah, dia pun harus mampu menjadi ibu.

Selama ini yang sering saya temui adalah ibu yang kadang membawa serta anaknya ketika dia harus bekerja sementara tidak ada yang merawat anak di rumah. Namun kali ini saya bertemu dengan seorang ayah yang harus membawa anak sembari bekerja. Tidak perlu gembor-gembor kesetaraan, jika memang kesadaran akan rasa tanggungjawab terhadap anak, maka tidak ayah tidak ibu, masing-masing akan menerimanya dengan ikhlas.

Kebetulan ada beberapa teman saya yang menjadi single parent. Meski diluarnya mereka kelihatan bahagia, namun kadang mereka juga merasakan kesulitan dalam hal mendidik anak. Kurang lengkapnya sosok ayah-ibu bagi anak kerap membuat seorang single parent mempunyai rasa bersalah, terutama jika kejadian itu akibat perceraian. Kalaupun tidak lengkapnya karena salah satu harus menghadap-Nya terlebih dulu, tetap saja sang single parent merasa kurang bisa memberikan sesuatu yang komplit kepada sang anak.

Memang berat sebagai seorang single parent yang harus merawat, mendidik, membesarkan, menjaga anak. Tapi bukan berarti sebagai seorang single parent tidak bisa membawa anak menjadi sosok yang hebat. Banyak juga contoh single parent yang berhasl mencetak anak-anak yang sukses. Apapun kembali ke niat dan usaha untuk bertanggungjawab terhadap anak.

Semoga si gadis mungil bisa membuat hidup ayahnya ceria dan terus bersemangat untuk mencari nafkah. Demikian pula, semoga sang ayah juga terus diberi kekuatan dan kesabaran untuk merawat dan mendidik anaknya.

Dengan melihat hal yang terjadi di sekitar kita, insya Allah kita bisa mengukur bahwa ternyata banyak juga kita diberi kelebihan oleh Allah SWT. Sudah sepatutnya kita bersyukur kepada-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline