Lihat ke Halaman Asli

Cerita di Atas Rel

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

13 September 2012. Selalu ada “untuk-yang-pertama-kalinya”. Malam ini, di dalam sebuah kereta ekonomi jurusan Tanah Abang – Rangkasbitung, saya memperpanjang daftar hal-hal yang saya alami untuk yang pertama kalinya dalam hidup saya.

Tentu naik kereta ekonomi tidak termasuk dalam daftar. Ini adalah kali kesekian walaupun saya lebih sering menggunakan Commuter Line.Jadi, bukan pertama kalinya juga saya melihat kesemrawutan di dalam gerbongnya. Tiga perempat penumpang di dalam gerbong paling depan (yang notabene tak berkursi) duduk lesehan sementara satu perempatnya berdiri dan bersusah payah tak menginjak tangan atau kaki orang-orang yang duduk. Pedagang asongan berjalan di antara jejalan penumpang yang padat sambil berteriak-teriak menjajakan jualannya: “Tahu tahu goreng. Jangan cuma diliat. Tahu tahuuu...”, “Yang haus, yang haus... Aqua, Mijon, Teh Gelas, Buavita jambu.. Jambunya jambu biji, bukan jambu air...”, “Jeruk, 10 ribu 15, jamin manis...”. Kepulan asap rokok yang bersumber di beberapa titik dan menyebar sampai ke seluruh ruang gerbong. Kumpulan wajah lelah dan kumal orang-orang yang telah seharian beraktivitas, termasuk juga saya. Tumpukan karung yang sebagian besar kemungkinan berisi barang yang akan dijual lagi: pakaian, daun pisang, gerabah, suvenir resepsi perkawinan, dan lain-lain.

Ini adalah kesekian kalinya saya menggunakan kereta ekonomi. Tapi, malam itu adalah pertama kalinya saya melihat interaksi unik sebuah keluarga di dalam gerbong tersebut. Duduk di lantai gerbong, keluarga tersebut—satu ayah, satu ibu, dan tiga anak perempuan–bercengkerama di dalam gerbong pengap sesak seolah-olah tak ada orang lain di sekitar mereka. Berbaju dan bercelana kotak-kotak, si ayah, yang pergelangan tangan kirinya mengenakan gelang, memangku anak tengah yang tiduran di pahanya. Si sulung sibuk bermain-main dengan benda semacam pedang-pedangan berwarna hijau. Sementara si bungsu, dengan sisir kecilnya, berusaha merapikan rambut ibunya yang sedang menulis sesuatu dengan pensil di sebuah buku tulis.

Dasar saya yang terlalu ingin tahu, saya memicingkan mata saya untuk melihat lebih jelas apa yang ditulisnya. Sayang, saya tak bisa membacanya. Yang bisa saya pastikan, itu adalah buku menulis halus. Dan dari bentuk tulisannya, si ibu menuliskan kalimat yang sama berulang-ulang. Tebak-tebakan saya selanjutnya adalah buku itu milik anak sulungnya. Ia punya PR dan PR-nya dikerjakan si ibu. Saya semakin yakin tebakan saya benar saat si ibu berhenti menulis ketika sampai di baris terakhir, menutup buku itu, dan memasukkannya ke dalam tas putih bergambar Micky Mouse, yang saya duga milik si sulung. Hmmmm...

Dari arah depan, seorang petugas pemeriksa karcis yang berseragam menyerupai petugas keamanan menyusuri padatnya gerbong, mengecek apakah setiap orang memiliki karcis. Orang-orang menyodori karcis mereka dan si petugas melubanginya. Seorang bapak tua di sebelah saya mengorek-korek kantong bajunya. Ia mengambil uang. Rp 50.000,-. Ia masukkan lagi, ia mencari pecahan yang lain. Rp 5.000,-. Ya, kali ini lembaran kertas itu digenggamnya. Ketika si petugas sampai di dekat kami, si bapak tua memberikan 5 ribu itu kepada petugas. Dengan senyum sedikit tertahan si petugas menerima uang itu dan memberikan kembalian Rp 3.500,-. Tidak ada pertanyaan di mana karcisnya. Ia berjalan lagi dan beberapa orang melakukan hal yang sama, menyodorkan lembaran uang alih-alih karcis. Saya tahu bahwa praktik tidak membeli tiket dan praktik memanfaatkan kelalaian orang demi keuntungan pribadi amat lumrah. Tapi, baru pertama kali itu saya melihat sendiri hal itu—ya, karena biasanya amat jarang ada pemeriksaan karcis di kereta ekonomi.

Peristiwa demi peristiwa terus berlangsung di depan mata saya dan saya menikmatinya seperti saya menonton sebuah film. Laki-laki dan perempuan berjarak sekitar 3 meter dari tempat saya berdiri yang saling berpelukan, berbisik, lalu tertawa bersama. Si sulung (dari keluarga yang tadi) yang mengamati luka adiknya yang sudah menjadi koreng, lalu menggaruk-garuk pinggiran lukanya. Para pedagang asongan yang masih berseliweran. Dua orang pemuda yang mengobrol ringan sambil mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya.... Semuanya.

Kereta berhenti. Sampai juga di Stasiun Pondok Ranji. Saatnya saya turun. Saya pun menyelinap dengan hati-hati menuju pintu gerbong. Tapi... hei, ini bukan Pondok Ranji! Tulisan Sudimara terpampang di depan mata saya. Oh, saya salah turun. Stasiun Pondok Ranji satu stasiun sebelum Sudimara. Dan malam ini ditutup dengan pengalaman pertama lainnya. Selama—dengan perhitungan kasar—480 kali saya naik kereta, baru kali ini saya salah turun!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline