Lihat ke Halaman Asli

Noviyanti

Edukasi

Tindak Pidana Korupsi

Diperbarui: 7 Juli 2022   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berkomitmen untuk memberantas korupsi merupakan tonggak penting bagi pemerintah nasional. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tidak bisa lepas dari keseriusan janji calon kepala negara untuk memberantas korupsi. Ini mau tidak mau terjadi karena korupsi terus mengikis hak rakyat atas aset milik negara, kekayaan negara yang sangat besar, hampir tidak menyisakan apa-apa untuk kesejahteraan rakyat. 

Semuanya tergerus oleh kelicikan birokrasi korupsi, janji membasmi korupsi yang juga menyita perhatian pemilih. Para calon kepala negara memiliki janji nyata, menawarkan hikmah, dan setiap orang yang menipu negara harus diselidiki sampai akhir. Pemberantasan korupsi secara yuridis dimulai pada tahun 1957,dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Bentuk korupsi dapat berupa: kerugian keuangan negara, penyuapan, penggelapan dana publik, pemerasan, penipuan, pengadaan benturan kepentingan dan gratifikasi. Manifestasi korupsi tersebut di atas digambarkan dengan berbagai cara oleh para koruptor, tentunya untuk kepentingan mereka sendiri. Korupsi adalah perbuatan tidak etis yang bertentangan dengan norma dan nilai kebaikan dari sudut pandang manapun. Sebab, korupsi pada hakekatnya adalah mengambil apa yang bukan miliknya. Kesengsaraan masyarakat adalah akibat dari penyakit sosial ini. Korupsi merusak seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan lain-lain bukannya tanpa korupsi.

Demikian, Sistem presidensial juga memiliki masalah yang berkaitan langsung dengan presiden itu sendiri. Situs republika.co.id dikutip mengatakan, "Menurut temuan Transparency International 2004, mantan Presiden Suharto menduduki peringkat sebagai presiden paling korup di dunia, dengan perkiraan total korupsi $ 1,5-25 miliar." (1) Dalam Di antara berbagai kasus korupsi yang dia lakukan, dia telah menulis satu yang melibatkan dana "Kementerian Penghijauan" dan posisi Bantuan Presiden, yang digunakan untuk membiayai tujuh yayasannya. Hal ini juga ditanggapi oleh DPR, MPR dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di sana, jelas disebutkan: “Korupsi, kolusi, dan nepotisme harus diberantas terhadap siapa pun, termasuk pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya. Maupun kelompok/konglomerat swasta termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia”. Atau sekitar 3,07 triliun rupiah. 

Dengan adanya isu ini tentu akan menjadi salah satu ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Presiden menyedot uang negara tidak hanya akan berdampak buruk bagi perekonomian, tetapi juga akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia. Salah satu slogan UOB adalah "kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga". Kalimat ini memiliki 2 poin. Pertama, kepercayaan tidak bisa dibeli dengan uang Kedua, di bidang ekonomi, mata uang bersama pasti berfluktuasi dari waktu ke waktu. Namun, "kepercayaan" tidak berfluktuasi dari waktu ke waktu, tetapi berubah lebih kuat.

Seperti contoh kasus Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa dalam perkara ASABRI. Ia bekerja sama dengan mantan direktur utama ASABRI, Adam Damiri dan Sonny Widjaja, dan telah mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp. 22,7 triliun. Selain dituntut hukuman mati, ia juga harus membayar uang pengganti sejumlah Rp. 12.643.400.946.226.00 dalam waktu satu bulan. 

Hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ayat (2) mengatur: “Dalam keadaan tertentu, seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipidana mati.” Pasal ini mengacu pada “keadaan tertentu”, yang mengacu pada situasi seperti bencana alam, krisis ekonomi, dll. situasi di mana hukuman mati dijatuhkan. Keputusan No. 31 Tahun 1999 diubah menjadi UU No. 31. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan Pasal 55 (1) KUHP, dilanjutkan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline