Masih teringat jelas dalam ingatan masa kecil saya. Setiap kali ibu saya mengajak ke salon atau tukang cukur ( meskipun saya perempuan, ibu saya lebih suka rambut saya dipotong pendek seperti laki-laki), saya selalu menangis dan menolak diajak masuk. Berbagai rayuan mulai dari bilang saya akan cantik kalau rambut saya dipotong, akan dibelikan jajan sampai akan diberi uang. Tak jarang pula Beliau sampai matanya melotot dan terpaksa harus mencubit saya karena saya tetap tidak mau potong rambut.
Well, sekarang saya mengalami hal yang sama dengan beliau. Memang kita akan mengerti perasaan orangtua setelah kita menjadi orangtua. Saya jadi tahu susahnya mengajak anak ke tukang cukur dan saya pun melakukan berbagai strategi yang sama dengan ibu saya.
Saat putra pertama saya berusia 1 tahun dan harus cukur rambut, saya mengajaknya ke tukang cukur. Dia menangis meronta-ronta karena tidak mau dicukur. Alhasil rambutnya sedikit kacau karena saya dan ayahnya harus berusaha menahannya. Sejak saat itu saya pun jadi enggan pergi ke tukang cukur karena enggan pula harus menenangkan putra saya jika rewel. Saya memotong sendiri rambut putra saya hingga dia berusia 4 tahun. Ia mau karena jika ia tidak mau maka mata saya akan melotot dan ia pun jadi takut.
Ketika ia sudah 4 tahun, saya putuskan mengajaknya ke tukang cukur bersama ayahnya. Mulanya ia menangis dan meronta. Saya pun berusaha membujuknya persis sama dengan cara ibu saya waktu mengajak saya potong rambut. Saat ini ia sudah 7 tahun Dan sudah bisa mengerti dan mau diajak ke tukang cukur walau terkadang sedikit manyun.
Ketika putra kedua saya lahir, saat pertama kali ia harus cukur rambut, kami membawanya ke tukang cukur. Dan sama saja ia langsung menangis dan meronta-ronta. Akhirnya saya kembali ke tukang cukur pada saat ia tertidur karena takut ia akan rewel dan meronta-ronta. Sampai ia berumur 3 tahun saya pun juga memotong sendiri rambutnya karena enggan mengalami hal yang sama dengan kakaknya.
Kemarin saya memutuskan ia sudah harus dicukur dan terbiasa pergi ke tukang cukur. Saya bersiap dengan membelikan coklat pasta kesukaannya. Harapan saya ia akan asyik dengan coklat pastanya sambil rambutnya dicukur. Mulanya putra kedua saya hanya duduk dan menatap tukang cukur saat beraksi mencukur rambut orang. Ketika gilirannya tiba, ia langsung mengajak saya pulang. Dan yang saya sudah perkirakan akhirnya terjadi. Ia menangis dan memeluk saya. Saya pun berusaha menahannya agar tetap duduk di kursi cukur. Lucunya, meski ia menangis ia masih makan coklat pastanya. Saat hampir selesai ia meronta-ronta, kontan saja saya harus mengeluarkan tenaga ekstra agar ia mau tenang, saya memeluknya tak peduli banyak rambut yang menempel. Masih saja ia meronta-ronta hingga ia terlepas dari pelukan saya dan ia pun berguling-guling di lantai padahal banyak sekali sisa rambut orang bertebaran di lantai. Alhasil, banyak rambut menempel di tubuh, wajah dan coklat pasta yang tetap dipegangnya dengan erat. Untung saja tukang cukurnya dengan sabar mencukur putra saya meskipun dengan berbagai gaya.
Setelah selesai barulah putra saya tenang dan mengajak saya pulang. Saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada tukang cukur tersebut karena sudah sabar dan berhasil mencukur rambut putra saya. Saya pun bersyukur akhirnya selesai juga proses mencukur yang melelahkan tersebut.
Saya benar-benar heran. Kenapa anak-anak ogah diajak ke tukang cukur dan mencukur rambut mereka. Tak jarang saya melihat hal yang sama pada anak-anak lain dan membuat ibu mereka jadi stres. Saya sendiri pun tidak tahu kenapa dulu waktu saya kecil juga ogah potong rambut. Ada apa dengan tukang cukur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H