Foto : Koleksi Lina Ria
Wanita-wanita cantik ini bukanlah sekumpulan mahasiswi. Tapi mereka adalah pejuang sejati. Karena memiliki pekerjaan yang termasuk langka dan berat. Siapa mengira, rata-rata badan mereka berukuran kecil dan berusia muda. Tapi kekuatan mereka tidak dapat diukur secara fisik saja, kesabaran mereka boleh dibilang luar biasa.
Pekerjaan mereka dibilang berat karena mereka harus mengulang terus menerus hal-hal kecil yang dianggap remeh bagi kita dan bagi kita hal itu akan menjadi hal yang membosankan dan membuat gregetan. Mereka dituntut untuk lebih kuat karena sewaktu-waktu mereka harus beradu fisik. Terkadang mereka dipukul, ditendang, bahkan digigit.Tentu saja mereka tidak diperkenankan untuk membalas. Mereka diharapkan bisa menghentikan perilaku-perilaku yang tak pantas itu. Mereka juga dituntut untuk membersihkan kotoran yang terkadang tidak terbayangkan bagi kita untuk melakukannya bila tidak ada hubungan dengan kita.
Mereka adalah guru ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) atau kita juga bisa menyebut mereka dengan terapis. Mereka adalah guru bagi putra bungsu saya di Sentra Anak Berkebutuhan Khusus di kota tempat kami tinggal. Di sentra ini kami menyebut mereka Bunda ABK.
Putra bungsu saya (Ahmad, 6 tahun), memiliki gangguan dan hambatan dalam perkembangannya. Ia adalah penyandang ADHD (Attention Deficit and Hiperactive Disorder) dan Spectrum Autis. Atau dalam istilah Indonesianya, GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif) dan autis ringan.
Kenapa saya menyebut pekerjaan mereka berat? Karena mereka melakukan pekerjaan tersebut bukan hanya sebagai mata pencaharian mereka tapi mereka melakukan pekerjaan ini dengan hati. Mereka mengajar anak-anak istimewa yang memiliki kebutuhan khusus. Misalnya, Autis, Down Syndrome, ADHD, Lambat Belajar, Disleksia dan lain-lain.
Mengajarkan sesuatu pada anak-anak istimewa ini harus penuh kesabaran dan usaha yang maksimal. Hal yang sepertinya mudah dilakukan bagi anak normal lebih sulit dilakukan anak-anak berkebutuhan khusus ini. Misalnya melipat kertas jadi dua. Bila pada anak normal, satu hingga dua kali diajarkan mereka akan bisa menirukan dengan mudah. Berbeda pada anak-anak isimewa ini, perlu puluhan bahkan ratusan kali mengajarkannya. Jika melipat kertas jadi dua saja perlu usaha ekstra, apalagi bila mereka belajar menggunting, meronce, mengenali warna, berhitung, membaca, menulis dan keahlian-keahlian lain.
Tidak itu saja, para Bunda ABK ini juga mengajarkan bantu diri pada anak-anak istimewa ini. Seperti makan, minum, membersihkan diri ketika selesai BAK dan BAB. Bagi saya mereka hebat dalam hal ini karena mereka mengajarkan ini pada bukan anak kandung mereka sendiri. Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan mereka mengajar anak-anak istimewa ini hingga mereka bisa.
Jerih payah mereka pun akan terbayarkan bila anak didik mereka dengan terampil menguasai apa yang mereka ajarkan. Apalagi bila anak didik mereka lulus dari TK Inklusi dan melanjutkan SD. Tentu rasanya luar biasa bagi mereka. Mereka lupa akan waktu dan usaha yang mereka curahkan.
Beribu-ribu terimakasih kami sebagai orangtua anak-anak istimewa ini pada Bunda ABK ini karena dedikasi penuh mereka mengajarkan banyak hal pada putra-putri kami dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan. Semoga jasa-jasamu mendapatkan pahala yang tak terhingga dari Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H