Setelah kuliah perdana di semester 4 selesai pada hari itu sekitar pukul 3 sore, kami (aku, Tutut, dan Nurma) bergegas meninggalkan ruangan kuliah dan menuju sekre karena kebetulan ada rapat untuk seleksi penerimaan anggota baru. Ya lumayan sih periode kepengurusan ini kami ditunjuk sebagai anggota presidium atau pimpinan bidang, dimana aku sebagai pimpinan bidang Perusahaan, Tutut pimpinan bidang Sekretaris Umum, dan si Nurma pimpinan bidang Pengembangan dan Pelatihan Anggota. Jadi kami sedikit berhak untuk memberikan pendapat dalam memilih dan menyeleksi serta menempatkan calon anggota baru pengurus Pramorlia.
“yah ni trio kwek-kwek baru dateng” gerutu mantan Pimpinan Umum kami, sebut saja namanya mas Ruri. Walaupun dari luarnya dia nyebelin, jutek, cuek, dan kriyuk-kriyuk alias garing tapi dalam hatinya, beh. Baik banget, pengertian, dan nggak gampang marah, bijaksana lagi cuma kadang-kadang nylekit aja sih pas komentar atau menkritik. Tapi membangun kok. Mana ganteng. Sebenarnya banyak yang suka sama mas itu cumanya aja dia udah ada calon istri yang sama perfeknya kaya dia jadi ya pada mundur semua dah. Aku? nggak, aku ngak termasuk penggemarnya. Malahan dulu aku sebel banget sama dia, tapi setelah kenal ternyata baik mana perfek lagi di jadiin kakak, ya alhasil sekarang aku menganggap dia seperti kakak, udah kaya keluarga sendiri.
Kami hanya cengengesan tanpa menanggapi sentilan pak mantan PU itu. tanpa banyak bicara lagi mas Ruri menyegerakan untuk memulai rapat. Karena kebetulan PU kita yang baru sedang berhalangan hadir, jadi kami menunjuk mas Ruri untuk pimpin rapatnya.
“ini berkas-berkas calon pengurus baru yang udah pada daftar” kata mas Ruri sambil menyodorkan segepok formulir pendaftaran yang telah dimasukkan map dengan rapi. Kami menerimanya dan membaginya untuk melihat sebentar siapa saja yang telah mendaftar.
“loh mas, bukannya kita dulu udah komitmen yang boleh daftar jadi calon pengurus itu yang pernah ikut magang aja ya” celetuk Nurma tiba-tiba.
“hehe iya sih, tapi setelah kami pikir-pikir lagi, ya apa salahnya sih buka daftaran buat yang gak sempet magang di tempat kita, siapa tahu banyak bakat-bakat terpendam, ya Cuma nilai plus aja buat yang udah magang duluan di tempat kita” jawab mas Ruri santai. Nurma mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“kenapa ma?” tanyaku penasaran.
“nanti gua kasih tau dah, surprise” bisik Nurma.
“wah kalian ni, pasti ada bibrikan (*istilah gebetan untuk daerah Solo dan sekitarnya) ya ?” tanya mbak Asti curiga.
“kagak” jawab Nurma cepat.
“curigaan banget sih mbak” sambungku menggoda. Mbak Asti menatapku sambil nyungut. Aku hanya menjulurkan lidahku.
“ya udah sih, kalian ini malah ribut. Jadi gini, kita screening (*istilah lain untuk seleksi) 2 hari ya, besok sama lusa, terus yang bagian screening Mbak Imas sama Mbak I’im, nanti kan pasti banyak yag daftar di bidang redaksi, maka dari itu kaya tahun kemarin kita adain tes buat masuk redaksi, caranya sama kaya kemarin, mereka suruh nulis gitu aja mau puisi cerpen dll, nanti yang nilai Mbak Imas sama Mbak I’im dibantu kita semua para presidium, ok? Ada yang mau usul?” tanya mas Ruri. Kami bungkam karena kami rasa semua sudah sesuai dengan hati kami.
“ok sip kalau nggak ada pertanyaan, kita tutup aja rapat kali ini, o iya, mbak Imas sama mbak I’im besok siapkan jam 9?” tanya mas Ruri sebelum menutup rapat.
“siap” teriak mbak Imas dan mbak I’im hampir bersamaan. Mereka berdua ini emang sedikit alay.
“ok, stand by terus ya di sekre” perintah mas Ruri. Mereka mengacungkan jempol tanga kanannya.
“ok, kita tutup aja, terimakasih untuk waktu yang telah diluangkan, wassalamualaykum wr wb” tutupnya.
“waalaykumsalam wr wb” jawab kami hampir bersamaan.
Kami berjalan sejajar menuju parkiran motor. Kami memutuskan untuk segera pulang karena cuaca mulai mendung. Dalam perjalanan menuju parkiran aku terus memperhatikan Nurma. Dia masih tersenyum dengan gilanya.
“lu kenapa sih?” tanya Tutut. Ternyata bukan hanya aku saja yang memperhatikan Nurma.
“o iya gua lupa mau cerita sama kalian, kalian berdua pasti bakal berbunga-bunga kalau denger” pancing Nurma masih sambil tersenyum geli.
“apaan sih?” tanyaku penasaran.
“jadi gini, ternyata..” jawabnya menggantung.
“alah lama lu, apa sih?” desak Tutut yang tidak sabaran.
“jadi gini, tadi gua kan baca-baca formulir pendaftaran, gua lihat nama Noman sama Tio” ucap Nurma datar. Kami terbelalak.
“ha? Yakin lu ma?” tanya Tutut dengan wajah tegang sekaligus penasarannya. Nurma mengangguk.
“ha” teriak Tutut bahagia sambil memeluk aku dan Nurma super kuat hingga aku susah nafas
“duh Tut, sakit tau” kataku sambil berusaha melepaskan pelukan bocah satu ini.
“Tio bakal ikut Pramorlia, gua seneng ta, masa lu gak bisa liat sih?” tanya Tutut histeris sambil memeluk kami lagi. Aduh ini anak kenapa jadi buas begini ya? Ya Tio itu orang yang disukai Tutut, emang sih dia cakep, tinggi, putih, Cuma sayang dia kurang berenergi alias klemar klemer benar-benar menunjukkan dia ini cowok Solo. Halus banget dah pokoknya.
“iya-iya gua lihat,tapi Ma, kalau gitu mah Cuma si Tutut yang seneng, gua? Hmm” komentarku.
“kan ada Noman” goda Tutut. Nurma tertawa kecil.
“ya kan dia yang suka gua, gua kan kagak”gerutuku merasa iri.
“ya setidaknya ada yang suka sama lu lah di Pramorlia ahaha” Tutut terus saja menggodaku. Aku jadi sebal.
“tenang aja ta, gua juga ada kabar baik buat lu, bukan karena Noman, tapi Dewa lu” kata Nurma sambil nunjuk gua.
“Dewa gua?” tanyaku sedikit tidak percaya.
“iya, si Dewangga Adyana alias Dhede alias Dewa lu itu juga daftar tau” jelas Nurma.
“ha? Serius lu, hahaha” tanyaku histeris.
“bohong lu ya?” tanyaku lagi. Nurma menggeleng. Aku semakin histeris dan ganti memeluk erat mereka berdua. Aku segera sadar sesuatu dan dengan cepat melepaskan pelukanku
“gua kan udah pensiun jadi secret admirer dia, harusnya gua biasa aja dong” kataku sambil membenahi sikapku menjadi sikap tenang dan sok cool.
“haha gila ni anak..perasaan kok di paksa nurut otak, aneh lu” hina Nurma.
“ye, bukannya maksa, tapi ini mendidik perasaan, supaya tahan banting” sahutku membela diri.
“ceileh tahan banting katanye, kebanting-banting mulu yang ada, haha” timpal Tutut.
“ah kalian ni pada resek sih. Dukung gua dong, gua kan mau move on. Malah dikata-katain lagi” kataku kesal.
“iya-iya, lu sih repot-repot pake jadi secret admirer dia segala, sekarang malah pensiun, ya udah pulang yuk keburu hujan” kata Nurma. Kami mulai berjalan lagi setelah langkah kami yang sempat terhenti. Aku berhenti sebentar sambil melayangkan pandangan kesekitar parkiran.
“eh bentar deh” kataku. Mereka ikut berhenti.
“kenapa?” tanya Tutut bingung.
“dia udah pulang belum ya motornya nggak ada?” tanyaku innocent.
“yah, dasar lu katanya pensiun. Hu!” ejek mereka hampir bersamaan.
“iya-iya bercanda kali” kataku sambil meringis.
***
Malam hari sebagai mahasiswi yang jauh dari orangtua itu harusnya menjadi kesempatan terbesar untuk keluar dengan gebetan atau pacar. Sekedar untuk jalan bareng atau hanya makan sebentar. Setidaknya melepas penat setelah seharian berjibaku dengan dongeng dari dosen lengkap dengan tugasnya yang seabrek. Tapi ya nasib mengatakan lain untukku dan juga Tutut. Kami sering makan malam berdua karena tidak punya pacar alias jomblo alias single. Atau karena memang kami sedang suntuk saja di dalam kos dan ingin menghirup angin malam yang dingin tapi menyejukkan
“ mau makan dimana be?” tanyaku padanya sebelum naik ke motornya.
“terserah” sambungnya sambil mulai menarik gas motornya.
“yah terserah mah bukan jawaban atuh neng” timpalku.
“ya dimana aja cuyung, dikiri kampus tempat kita biasa makan juga boleh” katanya. Aku hanya mengangguk-angguk. Entahlah dia tau atau tidak aku mengangguk yang jelas motornya segera meluncur menuju depot makan sederhana dimana kami sering makan. Inilah salah satu keunggulan kuliah di Solo, biaya hidup yang murah dan orang-orangnya yang ramah. Percaya tidak percaya untuk porsi cewek, nasi plus sayur plus tempe hanya 2000 perak. Percaya atau tidak urusan kalian. haha
Setelah sampai di depot yang kami maksud aku langsung mengambil piring dan sendok seperti biasa. Kebanyakan depot disini memang model prasmanan jadi untuk porsi terserah kita, tapi yang perlu diingat adalah bayar dulu sebelum makan. Itu budayanya. Aku mengambil 2 tempe bacem dan tumis kangkung, kemudian memesan es teh manis. Aku segera duduk berhadapan dengan Tutut dan melahap makanan yang ada pada piring dihadapanku.
“ehem” tiba-tiba Tutut berdehem dan sedikit melotot kearahku. Aku malah ngakak melihat ekspresinya seperti itu.
“kenape lu ha?” tanyaku masih dengan menahan tawaku.
“arah jam 3” katanya. Aku melongok ke kiri, betapa terkejutnya aku saat melihat Dhede bersama seorang temannya sedang berdiri sambil membawa piring dan sibuk memilih lauk yang ada dihadapanya.
“mingkem lu”goda Tutut. Aku tersadar dari perangahku.
“apaan sih lu, gua udah pensiun!!! Titik!!” kataku tegas sambil meneruskan makan.
Malam ini depot benar-benar sedang ramai setengah mati, hingga beberapa orang terpaksa harus balik dan mencari depot makan lain karena tidak mendapat tempat duduk. Sebenarnya masih ada 2 kursi. 1 didekatku dan satunya lagi di dekat Tutut, tapi mungkin mereka sungkan atau malas atau entahlah hingga memutuskan balik. Aku berusaha menentramkan hatiku yang sedang berdebar-debar karena aku yakin Dhede pasti akan duduk disampingku atau minimal disamping Tutut. Tunggu,minimal? Mana bisa minimal ketika aku akan terus melihatnya secara tidak langsung saat berbicara dengan Tutut.
“maaf mbak, aku duduk sini ya?” tanya teman Dhede padaku. Aku sedikit terkejut.
“oh iya mas silakan” kataku mempersilakan sambil sedikit menggeser kursiku menjauh dari kursinya.
“aku juga minta maaf duduk disini mbak” ijin Dhede pada Tutut karena ia ingin duduk di kursi samping Tutut.
“duduk aja kali mas, bukan kursi gue juga, hahaha” canda Tutut. Entah dia tersenyum atau tidak yang jelas aku tidak berani menatapnya sekarang.
“eh Dhe, secret admirer yang lu critain kemarin itu gimana jadinya, udah ngaku dia siapa?” tanya temannya pada Dhede. Aku hampir tersedak karena kaget. Apa-apain sih ni anak merusak selera makan saja. Sengaja menyindir atau tidak mana aku tahu.
“uhuk uhuk” justru Tutut yang tersedak.
“eh, lu gapapa, pelan2 dong” kataku pada Tutut sambil mendekatkan es teh manisnya dan memberikan sedotan didalamnya.
“gua gapapa ta uhuk” katanya sesudah minum es teh manisnya.
“apaan sih lu, gua malas bahas dia” jawab Dhede pada temannya.
“lah kok males, dia udah ngaku belum sih?” tanyanya penasaran. Aku mengetuk-ketukan sendokku ke piring. Aku ingin mencegahnya, benar-benar aku ingin mencegahnya, aku tidak ingin Tutut juga temannya mengetahui yang sebenarnya. Aku memberanikan diri menatap Dhede. Dhede balik menatapku. Aku memasang mimik muka dan sorot mata paling memelas yang pernah aku lakukan untuk memohon kemudian aku menggeleng agar ia tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia menatapku hambar.
“belum, udahlah gue malas bahas dia, nggak jelas tau nggak, nggak penting juga” jawabnya kesal. Sakit juga lega yang aku rasakan sekarang. Sakit karena aku benar-benar telah tau bagaimana ia terhadapku dan lega karena ia dapat menjaga rahasia dengan baik. Aku sedikit melirik Tutut, ia menatap Dhede dengan kesal, terlihat seperti ada tanduk mengembang di kepalanya sekarang.
“Ta, gimana? Lu masih mau sama Dewa lu itu? lu tau kan dia gimana sama lu,nyapek-nyapekin badan tau nggak suka sama tu cowok. Harusnya dia bersyukur ya ada yang suka sama dia, perhatian sama dia, cowok tu kadang-kadang eh gak kadang-kadang sih, kebanyakan emang nyebelinnya kebangetan, termasuk Dewa lu itu” tanya Tutut menyindir Dhede.
“uhuk uhuk uhuk” tiba-tiba saja gantian Dhede yang tersedak. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku menatap Tutut bingung. Hingga akhirnya tanpa sadar aku menyodorkan es teh manisku dan juga tissue kehadapannya. Tapi ia hanya mengambil tissue setelah meminum es jeruknya sendiri. Sedangkan Tutut menatapku bingung juga kesal.
“gue punya minum sendiri, makasih” katanya. Aku hanya mengangguk dan menarik mundur es teh manisku.
Aku tau Tutut bagaimana. Dia paling bisa menjaga perasaan orang lain. Seandainya dia tahu Dhede telah mengetahui yang sebenarnya dia tidak akan seberani ini. Paling pol juga dia bakal ngomel-ngomel setelah makan. Aku menggaruk keras alisku yang tidak gatal untuk melampiaskan kesalku pada Dhede dan juga Tutut.
“Tutut sayangku cintaku mumumu, gua kan udah bilang, gua udah pensiun, pensiun, ok. Gak usah dibahas lagi” kataku geram.
“baguslah kalau lu sadar, harusnya lu sadar dari dulu-dulu-dulu-dulunya lagi Ta, dan gak usah diam-diam suka atau tiba-tiba cinta atau apalah itu” jawab Tutut kesal.
“haha kenapa?” tanyaku memaksa senyum natural berkembang secara alami di bibirku.
“dia nggak sebaik yang gua pikir Ta, kejem, hi” jawab Tutut begidik ngeri.
“andai aja be perasaan bisa gua control, haha dan juga kata lu sendiri, kita gak bisa milih orang yang kita sayang” jawabku sambil sedikit melirik Dhede. Dia hanya tersenyum masam sambil mengunyah makanannya.
“tapi gua kesel Ta, blum prnah kelilipan sandal dia ni” katanya kesal.
“haha ya udah sih Tut, biarkan dia pergi, hohoho, yok cus yuk” kataku sambil berdiri mengajak Tutut untuk segera pergi dari sini. Tutut mengangguk dan ikut berdiri. Sebelum naik motor aku kembali menoleh pada Dhede. Dia masih sibuk menyelesaikan makannya.
“gue capek, gue terima apapun yang lu beri ke gue Dhe, gue sadar gue nggak akan pernah bisa sama lu karna lu juga gak bakal bisa suka sama gue” ucapku dalam hati.
***
Hari ini adalah hari pertama seleksi penerimaan pengurus baru Lembaga Pers Mahasiswa “Pramorlia”. Aku tidak mau ikut campur dalam urusan ini karena aku memang tidak berhak sepenuhnya untuk ikut campur. Entahlah Dhede akan diterima atau tidak, aku juga tidak tahu. Itu tergantung dari para tetua yang berhak menentukan, dan yang paling penting aku benar-benar tidak mengharapkan apapun atas momen ini. Terserah Dhede akan diterima atau tidak aku tidak peduli, lebih tepatnya berusaha tidak peduli.
Kalau kalian jadi aku, kalian pasti akan merasakan sakit hati yang aku rasakan. Seperti sampah yang menjijikan dan ia yang kamu sayangi memandang sekalipun saja tidak mau. Bagiku tanggapan dingin darinya itu sudah merupakan pukulan keras dan hantaman yang mampu membangunkan aku dan menyadarkan otakku yang benar-benar tolol ini dari harapan besarnya. Sudah cukup tersiksa dengan secret admirerku, love spyku, dan yang paling menyedihkan adalah cinta tak terbalasku ini.
“lu nanti jenguk sekre nggak?” tanya Nurma pada aku dan Tutut. Aku diam tak menjawab.
“lihat bentar ya, haha” jawab Tutut cengengesan sambil menggelayut di lengan kami.
“ye” timpal kami berdua mengerti apa yang ia maksud. Apalagi kalau bukan Tio.
“bentaran dooang, nggak modus kok” sergahnya. Kami hanya tertawa geli melihat anak ini salah tingkah. Maklum baru pertama kali melihatnya kasmaran seperti ini.
“ya udah ge masuk” kataku mengajak mereka masuk ke ruang 8 tempat kami kuliah.
Tidak lama setelah itu dosen mata kuliah pangan fungsional datang dengan agak terburu-buru. Beliau segera menyalakan laptop dan menyambungkannya dengan layar LCD. Kami masih terus bersenda gurau tidak memiliki simpati sama sekali terhadap dosen ini. Kasihan? Sedikit. haha.
“Ma, percaya gak percaya ni ya, kemarin si Tata ngasih es teh sama tissunya ke Dhede. Nggak penting banget kan ya? Haha” celetuk Tutut tiba-tiba. Aku langsung membungkam mulutnya.
“lu apa.an sih Tut, resek banget deh. Nggak usah didengerin” perintahku pada Nurma masih sambil membungkam mulut Tutut.
“pih..lepasin ah, bau tangan lu, ih katanya pensiun Ma, ternyata hu payah banget deh Tata ni” katanya membuatku kesal.
“Tutut, lu tu ya” geramku sambil melotot.
“haha, bener Ta? Ketemu dimana emang?” tanya Nurma penasaran.
“iya sih Ma, di depot makan, abis dia kesedak gara-gara si Tutut ni, ya gua kan reflek” kataku membela diri.
“lah kok gara-gara gue? Emangnya dia udah tau siapa lu? Kok gara-gara gue sih?” tanya Tutut bingung.
“matih, sial, gue salah ngomong lagi, bahaya kalau mereka berdua sampai curiga” batinku dalam hati. Aku memutar balikan otakku untuk memberikan alasan yang logis untuk Tutut.
“ya bukannya gitu, maksud gue, lu sih bikin gua bingung mesti ngapain, ya reflek tangan gua nyodorin es teh, lu sendiri kalau liat orang kesedak apa yang lu kasih pertama kali, minum kan?” jelasku membela diri.
“haha Tata Tata, lu tu ya, lagian lu ngapain ngasih dia minum, emang dia nggak punya minum sendiri?” tanya Nurma sedikit menyindir.
“ya ada sih” jawabku innocent.
“nah kan, wah tangan lu udah nggak sinkron sama hati sama otak lu, mesti dibawa ke ahli saraf tu” goda Tutut.
“hush, lu ni, jangan gitu dong” gerutuku. Mereka hanya cekikikan melihat aku menyungut kesal. Telak! Tutut benar-benar mampu membuatku badmood pagi ini.
Segera setelah bapak dosen yang agak buncit ini selesai merangkai segala kebutuhan teknologinya kuliah dimulai. Hash inilah yang aku benci, saat-saat seperti ini aku malah mengantuk berat. Bagaimana tidak mengantuk kalau harus mendengarkan dosen berdongeng ria seperti ini. Aku hanya beberapa saat mendengarkan selebihnya hanya bergurau dengan Tutut atau kalau tidak ya online.
***
Para mahasiswa berhambur keluar dari ruang 8 setelah perkuliahan diakhiri, termasuk aku dan kedua sahabatku. Tujuan kami adalah sekretariatan, ya mana lagi Tutut sudah tidak sabar ingin melihat hasil seleksi yang baru saja dilaksanakan di sekretariatan. Kami sedikit berlari menuju sekre tidak lupa dengan tawa kami yang selalu pecah saat bersama seperti ini, tidak heran banyak yang menjuluki kami trio kwek-kwek. Kami tidak ambil pusing tentang julukan-julukan apa yang orang sematkan pada kami selama itu tidak menyinggung dan merugikan kami.
Jalanan sedikit licin setelah diguyur hujan yang cukup lebat selama perkuliahan tadi. Hingga kini rintik-rintiknya masih terasa menetes kecil di muka dan punggung tangan kami. Diam-diam aku masih memperhatikan gedung dimana Dhede biasa nongkrong. Tidak ada. Untuk apa aku selalu memperhatikannya saat aku telah mengetahui semua kenyataannya. Tiba-tiba saja suara percikan air terdengar dan tidak lama setelah itu air kotor bekas hujan sedikit memercik ke mulutku.
“pih,aishhh” gerutuku sambil cepat-cepat mengusap mulutku dengan telapak tanganku.
“eh sory, gua nggak sengaja, maaf ya” suara yang tidak asing di telingaku terdengar dari arah berlawanan denganku.
“iya gapapa, lain kali hati-hati” jawabku belum sempat melihat orangnya.
“iya, sekali lagi maaf ya” katanya lagi. Ih sikapnya yang seperti ini justru membuatku naik pitam dan ingin menghajarnya. Aku mendongak menyiapkan seribu umpatan dan cacian yang siap meluncur dari mulutku. Namun tiba-tiba semua tidak mau keluar dari mulutku setelah aku menatap siapa yang ada di depanku.
“anjir, kenapa gua jadi gak bisa berkata-kata gini ya, ah sial” umpatku dalam hati.
“eh iya gapapa” kataku pelan.
“lain kali hati-hati dong!” bentak Nurma sambil menyeretku agar segera berlalu. Aku hanya diam tidak mengatakan apa-apa lagi dan menuruti langkah Nurma. Aku melihat Dhede mengangguk merasa bersalah.
“tumben gak ngamuk? Hmm mentang2 si Dhede yang nyipratin, dasar Tata” goda Tutut sambil meneruskan jalan kami menuju sekre.
“anjir, gua bener2 nggak bisa ngomong apa-apa didepan dia, padahal gua udah nyiapin ribuan cacian buat tu anak yang udah nyipratin gua, eh pas gua lihat ternyata dia, malah kagak ada yang terrealisasi, macet semua di ujung bibir” umpatku kesal.
“bener kata Tutut kemarin, semua organ lu udah gak sinkron sama otak lu, makanya perlu ke syaraf, hahaha” timpal Nurma puas. Tawa mereka meledak sdangkan aku hanya nyungut kesal.
“ha ha ha, puas-puasin aja ngetawain gua” kataku kesal sambil berjalan duluan menuju sekre.
Sekre terlihat ramai dengan para calon pengurus baru yang sedang melakukan screening. Kami berjalan pelan takut menganggu acara wawancara mereka. Aku lihat banyak peserta berpikir keras sambil cengengesan menjawab pertanyaan dari screener. Ada yang sibuk ikut seleksi masuk tim redaksi yang mewajibkan mereka menulis untuk menunjukan kebolehannya dalam menulis hingga layak dimasukkan tim redaksi yang bertanggungjawab penuh terhadap hasil tulisan kami. Aku meraih beberapa kertas yang tertumpuk di dekat salah seorang peserta. Dapat aku tebak ini adalah hasil tulisan mereka. Aku membuka beberapa lembar kertas yang aku ambil tadi, hingga ada satu yang menarik perhatianku. Puisi dengan judul...ha secret admirer?, apa mungkin ini milik? Aku segera memeriksa nama sang penulis. Dewangga Adyana. Benar ini milik Dhede.
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H