Lihat ke Halaman Asli

Keep Calm, I'm Your Secret Admirer :) #7

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana lagi kalau memang sudah nasib akan berjuang sendirian? Aku tidak bisa meletakkannya begitu saja karena ini memang tugasku, ini adalah tanggung jawab dan amanah yang harus aku tunaikan. Aku menghela nafas panjang sebelum memasuki ruang PD 3 di dekat area parkir. Aku masih ragu-ragu. Sedikit maju justru lebih banyak mundur. Aku maju lagi. Kemudian mundur lagi. Desisan AC mengusap pipiku lembut. Bukannya membuat aku nyaman, justru semakin membuatku beku, tidak berkutik, dan semakin menyiutkan nyaliku untuk memasuki ruangan yang lumayan besar itu. Hingga seseorang dari belakang sedikit mendorong punggungku dan cukup membuatku sempurna masuk ke ruangan itu. Aku menoleh kesamping kanan karena ia sekarang telah berpindah ke sampingku. Ia menyeringai sambil menatapku, tatapan menghina. Aku justru tersenyum semanis mungkin. Sangat berterimakasih ia telah berada disampingku sekarang menemaniku. Dia tetap menyeringai. Aku berjalan sedikit gentar sambil membawa tumpukan dokumen administrasi menuju kursi PD 3. Aku mengucapkan salam sambil memampangkan senyum sabitku terhadap PD 3. Ia menjawab salamku juga tersenyum.

“ada apa ya mbak?” tanya pak dosen yang juga salah satu pengampu mata kuliah yang aku ambil.

“ini pak, maaf sebelumnya,kami dari Pramorlia mau minta keterangan lebih jelas tentang dana pers. Ya kami bermaksud agar dananya dapat segera cair agar kegiatan kegiatan kami dapat segera dilaksanakan, begitu pak” terangku. Bapak berperawakan pendek putih itu manggut-manggut. Entahlah maksudnya apa.

“ya duduk dulu mbak mas” kata pak dosen mempersilahkan kami duduk sebelum memulai pembicaraannya.

“ya maaf ya mbak mas, sebelumnya, di tahun kemarin, saya memang melakukan kesalahan karena kelupaan tidak mecantumkan dana pers pada anggaran rumah tangga. Kami mohon maaf sekali. Karena itu mungkin lembaga anda ini kesulitan masalah biaya, masalah keuangan” katanya masih menggantung. Aku geram mendengarkan ini. Ok cukup bapak tahu. Saya sudah tahu ini. Sudah lama dan basi. Bisa di skip saja?

“tapi untungnya kemarin masih bisa di usahakan, jadi masih dapat sekitar ya lumayan 5 jutaan” jedanya. Saya ini juga sudah tahu pak. Tolong ya. Aku tahu bapak mencarikan kami koretan-koretan dana alias dana-dana sisa, entah sisa apa.

“untuk tahun ini itu aneh lo mbak mas, kecuali dana DIPA itu kok nggak keluar ya? Dana-dana dosen juga nggak keluar sama sekali” bapak, sekali lagi, tolong saya, tolong untuk tidak curhat kepada saya? Saya sudah cukup pusing dengan sistem keuangan Pramorlia.

“jadi maksud bapak uang pers juga nggak ada?” tanyaku cepat. Tidak ingin membuang waktu. Bapak itu tersenyum simpul sambil mengangkat kedua bahunya. Aku geram. Sungguh. Apa-apaan kalau dana pers nggak bisa turun? Terus kita mau cetak majalah sama buletin pakai uang apa? Ngemis? Ok ini terlalu kasar. Aku gusar.

“bapak, terus kita mau cetak majalah pakai uang apa? Kemarin kita dapat dana persnya juga 5 jutaan. Itupun udah dipakai buat kepengurusan yang lalu. Sekarang khas di Pramorlia itu hanya sekitar 3 jutaan pak, itu hanya cukup untuk satu kali terbit majalah. Sedangkan kami harusnya terbit 2 kali dalam setahun. Belum lagi buletin yang harus kami cetak 8 kali. Belum lagi untuk kegiatan-kegiatan kejurnalistikan lain, juga mading” jelasku berusaha mengatur nadaku agar tidak terdengar emosi dan menggurui.

“iya bapak tahu bapak juga ikut prihatin, tapi harus bagaimana mbak? Kalau memang uangnya nggak turun? Mbak mau protes setiap hari atau sampai mogok makanpun uang juga nggak akan turun” kelit bapak yang rambut kepalanya telah hilang pada bagian tengah kulit kepalanya itu sambil tersenyum (baca: botak). Aku benar-benar dalam keadaan emosi yang meningkat begitu tajam. Aku memandang dengan tatapan menghardik. Ok aku memang tidak bisa menahan emosiku lagi. Aku tahu ini tidak baik. Tapi? Ehh. Menyebalkan. Aku bahkan mengabaikan Dhede yang sedang duduk disampingku. Hatiku yang tadi berdegup kencang karena duduk bersama Dhede berubah menjadi berdegup kencang karena emosi. Tapi sepertinya Dhede mengerti keadaanku.

“emm bapak, jadi gini, kami kesini justru karena ingin menanyakan itu, bagaimana bisa uang pers sampai tidak turun? Bukannya pers itu salah satu lembaga terpenting untuk fakultas pak? Bagaimana informasi-informasi dan aspirasi mahasiswa dapat tersalur kalau nggak ada kami pak? Nggak ada majalah, buletin, mading?” tanya Dhede dengan suara lebih tenang daripadaaku. Bapak itu masih menyeringai. Pih aku benci air muka yang seperti itu.

“mbak mas, perskan nggak harus identik dengan media cetak, kalian kan bisa memanfaatkan dunia maya sekarang untuk beraspirasi. Tidak harus selalu di cetak yang menggunakan biaya yang mahal. Saya rasa itu lebih efektif. Sekarang pada kenyataannya lebih banyak yang membaca online daripada kertas?” kelitnya lagi. Aku hampir saja kehilangan kesabaran.

“tapi bapak, nggak serta merta kita bisa menghapuskan majalah, buletin, mading. Itu identitas kami pak sebagai insan pers. Kalau bapak bilang lebih banyak yang suka membaca secara online, mungkin bapak memang benar. Untuk jangka waktu yang pendek. Untuk jangka waktu yang panjang? Bagaimana kita dapat tahan membaca majalah selama berjam-jam di depan gadget, laptop, atau komputer pak?” Dhede bukan semakin meninggi suaranya justru semakin tenang. Aku mulai mengagumi cara bicaranya sekarang. Ok jangan salah fokus Tata.

“tapi pada kenyataannya kalian pasti lebih senang online kan daripada harus repot membawa majalah kesana kemari?” tanyanya masih berusaha memojokkan kami.

“kalau alasan bapak ingin go papperless atau apalah itu dengan meniadakan majalah dan buletin kami, apa bapak tidak seharusnya juga melarang mahasiswa membuat laporan dengan menyertakan lampiran yang kenyataannya labih tebal daripada laporannya menggunakan kertas? Atau mungkin softfile saja? Maaf bukan kami bermaksud lancang atau berusaha menggurui pak. Kami hanya menuntut hak kami. Itu saja” kataku menukas. Payah juga terus berdebat seperti ini. Lelah.

“saya tidak bermaksud meniadakan majalah atau buletin kalian hanya saja mungkin bisa dikurangi kuantitasnya” katanya meluruskan. Apa tadi dia bilang? Mengurangi? Alasan!

“sama saja pak, saat kami mengurangi jumlah cetakan kami, mereka maksud kami mahasiswa lain tetap tidak mengurangi penggunaan kertas mereka” aku semakin berkelit. Sepertinya sudah out of the topic. Dhede menyenggol lenganku. Aku hanya mendengus kesal.

“ya ya, memang benar, tapi yang jelas kami belum bisa menurunkan anggaran dana pers untuk lembaga kalian karena dari atas juga belum cair” bapak sedikit buncit itu menukas malas sambil tersenyum. Aku menyerah. Tidak menanyakan apapun lagi. Dhede yang melihat aku mulai malas dengan omongan sampah ini memberanikan diri pamit. Tentu saja sebelumnya minta maaf dan berterimakasih atas waktunya. Bapak itu hanya mengangguk.

“saya harap kalian tetap bisa menjaga Pramorlia, jujur saya salut dengan kekuatan lembaga itu selama ini, saya harap kalian juga tidak terlalu mengharap dana itu turun. Untuk sementara berusaha lebih keraslah dulu untuk mecari dana” petuah bapak itu sebelum kami benar-benar keluar. Kami hanya tersenyum. Itu tentu kami lakukan pak. Bagaimana lagi? Kami tidak akan rela kehilangan majalah dan buletin kami.

Tiba-tiba semuanya jadi suram. Banyak pikiran berkecamuk di hati. Bagaimana kalau memang dana itu tidak dapat turun? Apa yang harus aku lakukan sebagai pimpinan perusahaan? Apa? Apa aku harus seperti dulu? Menjual makanan untuk biaya acara? Hello itu sebuah acara bukan Pramorlia. Berjualan sampai akhir kepengurusan pun mungkin belum mampu menutup semua kebutuhan. Mana bisa. Aku menatap awan nanar. Andai awan dapat berubah menjadi uang. Haish apa yang sedang aku pikirkan. Aku menengok ke belakang. Masih ada Dhede. Kami beradu tatap sebentar. Lalu aku melengos lagi.

“gue tau lu sedih, tapi jangan kek gini dong wajah lu” katanya sembari mensejajarkan langkah denganku. Aku hanya tersenyum tipis. Pahit pahit. Harusnya kamu memelukku sekarang. Hmm Tata mulai gila.

“ eh lu mau gue traktir nggak?” tanyanya tiba-tiba. Terang saja aku terpengaruh seketika. Menengok ke arahnya dan menatap penuh harap.

“dasar lu, manusia gretongan” hinanya sambil mencibirku. Aku hanya mendengus kecewa. Harusnya aku tahu, itu tadi hanya guyonan agar aku dapat tersenyum antusias. Salah fokus lagi. Dia tiba-tiba menarik tali samping kanan ranselku dan memaksa aku mengikuti langkahnya. Berbalik arah. Mau kemana dia?

Dia masih menarik tasku seperti menarik tali peliharaannya hingga aku benar-benar sudah duduk di kursi kantin. Dia baru melepaskannya setelah ia akan pergi memesan sesuatu. Aku duduk menghadap ke barat menghadap ke arah masjid. Tentu sajamasjid itu telah diberi sekat agar tidak terlihat dari kantin. Sebenarnya apa sih maunya? Ya mungkin tentu saja menraktirku. Tapi? Bukankah ia kamrin malam bilang tidak mau menemaniku? Dia bilang aku hanya modus? Lalu apa dengannya sekarang. Duniaku terenggut oleh dinginnya es yang dengan seketika menyergap di dahiku. Sial. Dhede sengaja menempelkan gelas es teh manis tepat di keningku. Tunggu? Apa yang baru saja dia lakukan? Aku menjadi kikuk. Bukankah itu tadi adegan sepasang kekasih seharusnya? Ah. Sudahlah jangan bayak berpikir.

“biar dingin kepala lu haha” ucapnya setelah menaruh es teh manis tepat di hadapanku dan duduk di hadapanku. Aku rikuh? Jelas saja. Aku masih menyukainya. Ya setidaknya kan perasaan suka tidak akan hilang begitu saja hanya karena kau mengatakan kau telah pensiun menyukainya. Aku hanya tersenyum masam. Hening seketika.

“jadi lu Cuma mau traktir es teh aja?” tanyaku mengejek. Dia tersenyum memamerkan gigi putihnya yang rapi dan rata. Tanpa pikir panjang aku langsung menyedot habis es teh manisku. Tentu saja setelah itu aku menyendoki sisa gula yang belum hancur dan memasukkan satu buah es polar ke dalam mulutku hingga salah satu sisi pipiku menggembung. Dhede mengernyit.

“lu tu unta ya?” tanyanya heran sambil menggeleng-geleng. Aku ingin tertawa tapi es polar yang ada dalam mulutku menghambatku tertawa hingga aku hanya tersenyum. Dan cepat-cepat mengunyah es polarnya dengan gigi gerahamku. Ia semakin mengernyit.

“kenapa sih? Lu nggak pernah makan es polar macam gue?” tanyaku menggoda. Dia menggeleng.

“coba dong. Asik tahu haha” sambungku. Dia menggeleng lagi. Aku hanya tersenyum senang membuat dia terheran-heran seperti ini.

“ngilu gue” katanya lagi

“kalau ngilu pakai sensodyne” kataku menghina beranjak akan meninggalkan kantin. Toh acaranya sudah selesaikan?

“korban iklan lu, haha, lu mau kemana?” tanyanya lagi.

“kuliah, lagiankan lu juga udah nraktir gue, jadi lu yang bayarkan? Gue mau chauw” kataku menyeringai. Aku mulai mengatur tas yang berantakan karena ditarik olehnya tadi.

“owh. Jadi lu nggak mau mie ayamnya. Buk mie ayam 2 sini” katanya sambil memanggil ibu-ibu gendut pemilik kantin yang sedang membawa nampan berisi 2 mangkok mie ayam hangat mengepul menggoda selera. Ah. Sial. Dia menjebakku. Ibu itu menghampiri meja kami.

“kok lu nggak bilang mau nraktir gue mie ayam juga?” tanyaku sambil duduk kembali. Ia hanya mengangkat kedua bahunya.

“gue tadi juga nggak bilang mau nraktir lu Cuma es teh” balasnya. Aku mendesis jengkel. Setiap perkataanku selalu terbantahkan olehnya.

“tapi minum gue udah habis” komentarku.

“urusan lu, gue Cuma kasih satu paket. Nggak ada paket tambahan” katanya sambil sibuk meniup mie panas yang telah melilit garpunya. Sial. Aku mau!.

“ya udah deh, anggep aja gue minum duluan baru makan” kataku ringan

“kalo lu kepedesan gimana?” tanyanya. Aku tersenyum bangga.

“i love spicy food” kataku. Ia mengangguk-angguk.

“kalau tiba-tiba lu kesedak gimana?” tanyanya lagi. Aku mulai geram karena ia mengganggu acara makan makanan favoritku ini.

“sejak kapan sih lu jadi cerewet?” tukasku kesal.

“sejak dari ruang PD 3” jawabnya cepat. Aku memanyunkan mulutku.

“saat makan makanan enak seperti ini, jangan bahas sesuatu yang tidak enak macam berbicara dengan PD 3 tadi, taste makanan lu bisa ancur” komentarku. Dia hanya tergelak senang melihat wajahku mengenang kejadian tadi. Aku tidak memperdulikannya. Aku fokus pada mie ayamku.

Saat-saat pertama tidak ada yang mulai pembicaraan. Aku hanya sibuk denga mie ayamku. Hanya sesekali melihat wajahnya yang sedang kepedesan karena menuang sambal terlalu banyak. Jujur. Jantungku masih berdetak dengan keras jika berada di dekatnya. Sedekat ini aku dapat melihatnya, aku semakin sadar dia benar-benar indah. Tuhan, ijinkan aku memilikinya? Bisa kah?

“jangan pandangin gue kek gitu dong” katanya. Telak membuyarkan pikiranku dan membuatku salah tingkah.

“ap apa sih? Siapa yang liatin lu?” kataku mengelak. Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya. Sial! Aku bisa benar-benar menyukainya lagi sekarang. Dhede, andai kamu tahu aku telah berusaha melupakanmu sebaik mungkin, lama. Tapi kamu malah menghancurkannya secepat ini. Aku meneruskan makanku.

“o iya, ngomong-ngomong, kenapa sih lu suka gue?” tanyanya polos. Seketika tenggorakanku bagai ditusuk dengan jarum hingga membuatku tersedak. Aku batuk-batuk karena tersedak. Aku mencari minumku. Astaga aku lupa aku telah meminumnya tadi.

“uhuk-uhuk” aku batuk sambil memegangi perut juga menutup mulutku. Dhede dengan sigap menyerahkan es teh manisnya. Tanpa pikir panjang aku langsung meminumnya.

“syok?” tanyanya santai.

“gue nggak suka lu” jawabku sekenanya.

“gue juga nggak suka lu, tapi lu pernah suka sama gue kan? Bahkan mungkin lu sekarang juga masih suka sama gue” sambungnya tanpa melihatku. Dia menunduk menyeruput mienya. Tapi aku tahu dia sedang tersenyum setan.

“kenapa sih ngungkit-ngungkit itu lagi? Yang penting tu sekarang, bukan dulu” kataku tegas. Dia hanya mengangguk-angguk.

“gue hanya penasaran apa yang lu suka dari gue, itu aja” sambungnya lagi.

“nggak ada!” kataku kesal. Dia malah tertawa puas.

“semoga kata-kata lu bener” tambahnya terlihat tidak yakin. Aku tidak menggubrisnya. Semakin lama membahas hal semacam ini bisa membuat wajahku semakin panas maka dari itu aku menghentikannya. Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku bingung.

“mau kemana lu?” tanyaku cepat.

“beli minum, minum gue lu ambil” jawabnya tanpa melihatku dan terus berjalan. Aku segera mengeluarkan kertas dan bolpoin menulis note untuknya.

Terimakasih untuk hari ini, gue tau lu nggak suka sama gue. Tapi gue bener-bener berterimaksih lu udah nemenin gue tadi. Udah bantu gue. O iya, traktirannya juga makasih ya, masalah alasan gue suka sama lu dulu... gue suka sama lu karena itu lu..itu DULU! inget DULU BANGET!, gue chauw, gue udah telat kuliah!!! -1807-

Aku menyelipkan note itu di bawah mangkok mie ayam. Hanya sebagian yang terlihat kemudian aku dengan sedikit berlalu menuju ruang kuliah 7 untuk kuliah analisis pangan.

***

“uji kadar air dalam makanan dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah metode thermogravimetri dan.. siapa yang tahu?” tanya dosen Chinese cantik yang sudah sepuh itu dihadapan kelas. Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal berusaha menghindari pandangan dosen itu, ya karena aku tidak tahu jawabanya lah pastinya. Beberapa temanku menyambung kalimat dosen yang sempat terputus itu hampir bersamaan. Entahlah apa yang terjadi padaku, wajah Dhede yang tanpa bersalah menanyakan alasanku menyukainya dulu terus terbayang-bayang hingga akhir perkuliahan.

“lu kenapa sih? CLBK sama Dewangga?” tanya Nurma sambil merapikan buku dan tempat pensilnya yang berserakan di meja.

“haha, kagak knapa?” tanyaku balik.

“ya udah sih kalau nggak, knpa masih tulis2 nama dia?” tanyanya lagi sambil mengerlingkan matanya menuju tanganku yang masih memegang pena. Astaga. Mungkin kah aku melakukannya tanpa sadar?

“hehe” aku tidak menjawab hanya cengengesan kemudian ikut merapikan bukuku sendiri.

Seperti biasa saat menunggu kelas selanjutnya, kami akan beristirahat sebentar di kosnya Tutut, alasannya? Nyaman. Apalagi sekarang ada Wi-Fi tambah betah deh disana. Aku berjalan di belakang mereka berdua menuju tempat parkir. Dhede terlihat dari arah berlawanan sedikit tergesa-gesa. Aku menyingkir kesisi sebelah kiri Tutut agar tidak terlihat olehnya. Jujur saja. Aku masih malu jika bertemu dengannya. Apalagi note tadi, aih, setelah meninggalkannya aku sempat berbalik arah untuk mengambilnya kembali. Tapi apa mau dikata. Sudah lenyap notenya, beserta orang yang dituju. Pastilah dia sudah membacanya. Aku terus berjalan tanpa memperhatikannya.

“eh Dhe, lu mau kmana?” tanya Tutut tiba-tiba sambil melirik kearahku. Sial. Tutut pasti sengaja menyapanya tadi. Jelaslah, mereka sering usil kalau melihatku tiba-tiba menyembunyikan diri seperti ini.

“eh Tutut, gue lupa tadi janjian sama sponsor, ini mau ketempatnya” jawabnya sambil tersenyum masam.

“wah semangat ya Dhe” kata Tutut sambil mengepalkan tangan kanannya. Aku nyengir kuda. Apa-apaan dia ini. Hmmm. Dhede hanya mengangguk.

“mau ditemenin nggak?” tanya Nurma tiba-tiba. Mataku melotot seperti ingin keluar. Ah mereka ini kenapa sih?

“ha? Maksudnya?” tanya Dhede bingung. Jelas saja dia bingung, mereka toh juga belum terlalu akrab juga.

“nggak, kan ada bos lu, suruh dia nemenin lah. Daripada lu kesana sendirian” kata Tutut sambil menarik lengan bajuku agar aku berpindah dari sampingnya dan menampakan diri.

“ha? Kok gue?” sahutku cepat. Kenapa mereka sebegitu kompaknya sih masalah ngerjain orang kaya gini.

“dia lagi nganggur kok” tambah Nurma meyakinkan. Dhede tampak berpikir, aku hanya menggerutu karena sebal.

“lu bawa helm?” tanyanya padaku.

“ah, pake helm gue aja, nganggur juga kok” timpal Nurma. Aku hanya menahan nafas kesal bercampur deg-degan.

“ya udah, lu temenin gue ya” katanya sambil berlalu.

“eh tapi...” kataku menggantung. Mereka menahan tawa agar tidak meledak dan di dengar oleh Dhede. Aku hanya melototi mereka sambil mengambil helm Nurma yang menggantung di motornya.

“awas lu ya” ancamku sebelum berlari mengejar Dhede.

“tungguin gue dong” teriakku. Gila itu jalan apa lari, kenapa cepet banget sih, kecepatannya melebihi Tutut yang kebiasaan ngejar angkot pas jaman SMP. Kebiasaan ngejar truk kali ya dia.

***

Tau apa yang aku rasakan sekarang? Deg-degan? Pastilah, aku benar-benar berada dibelakangnya sekarang. Dapat menghirup aroma tubuhnya yang tertiup angin selama perjalanan menuju tempat sponsor. Ah ini gila. Kami tidak banyak bicara selama perjalanan. Dia terlihat sangat fokus dengan jalannya. Aku hanya dapat menyibukkan diri dan mengalihkan pikiran-pikiran gilaku dengan memandang jalanan yang mulai silau karena sinar matahari sore yang ingin tenggelam ke tempatnya. Siluet berwarna orange dari pohon-pohon di depanku entah mengapa berubah menjadi pemandangan yang sangat indah. Mungkin efek orang yang berada di depanku juga indah mungkin. Haha.

“tumben lu gak cerewet nanya ini itu?” tanyanya tiba-tiba sedikit membuatku terkejut dan segera mengalihkan pandanganku dari pohon-pohon besar itu.

“aaa, sok tau lu gue crewet” jawabku judes. Aku hanya berusaha membentengi diri saja untuk tidak terlibat perasaan lagi dengannya. Tidak salahkan?

“nggak sih, gue nebak aja” sahutnya tanpa beban.

“masih jauh?” tanyaku mengubah topik pembicaraan.

“tu depan tu” katanya. Aku hanya mengikuti pandangannya, hanya mengikuti saja tanpa tahu mana yang sebenarnya ia maksud. Aku hanya mengangguk-angguk. Entahlah dia bisa melihat anggukanku atau tidak.

Kami tiba di depan sebuah percetakkan buku yang tidak begitu besar tapi hampir seluruh ruangannya dipenuhi kertas-kertas hvs dan buram. Kami turun dari motor dan berjalan mendekati orang yang sedang mengatur kertas-kertas itu di halaman depan.

“maaf mas, bisa bertemu dengan pak Rudi?” tanya Dhede sopan.

“oh, pak Rudinya sedang keluar sebentar mas, sebentar kok, tadi katanya kalau ada yang nyari dia disuruh nunggu sebentar gitu” jelas laki-laki awal usia sekitar kepala 3 an itu. Dhede hanya manggut-manggut dan mulai duduk di kursi halaman depan percetakkan itu. Aku tidak ikut duduk aku haus sekali ingin membeli minum di Toko kelontong depan percetakkan.

“mau kemana lu?” tanya Dhede sedikit berteriak karena aku sudah berjalan cukup jauh. Aku hanya menunjuk toko yang aku maksud. Dia tidak berekspresi.

“ati-ati ilang” katanya. Aku hanya memanyunkan mulutku tanda mengejek. Dikira aku anak TK apa tidak bisa beli sesuatu sendiri. Dasar aneh.

Aku mengambil satu botol air mineral dari kulkas toko itu kemudian segera membayar. Sesaat sebelum melangkah keluar dari toko, aku melihat Dhede mengipasi lehernya dengan kibasan tangan. Melas banget sih tu bocah. Aku berbalik arah dan mengambil satu botol air mineral lagi dan segera membayarnya pula. Aku berjalan mengendap-endap di belakangnya. Kemudian dengan sengaja menempelkan botol air mineral dingin itu di keningnya. Ia bergerak dengan cepat menghindari botol air itu.

“apaan sih Ta” katanya kesal. Aku hanya cekikikan melihatnya kesal seperti ini.

“biar kepala lu dingin, hahaha” kata-kataku mengadopsi kata-katanya saat menempelkan gelas es teh dikeningku kemarin.

“ish” desisnya. Aku menyodorkan botol itu. Tanpa ba bi bu be bo langsung ia tenggak isinya. Tidak tahu terima kasih ini anak ya?. Aku duduk disampingnya sebelum minum air mineralku sendiri.

“terima kasih kek?” ledekku dengan tatapan pura-pura sadis.

“kenapa harus terima kasih, pasti lu lakuin ini juga sepenuh hati tanpa beban kan..kan lu suka sama gue?” terangnya santai tanpa menatapku hingga membuatku semakin panas dan gerah. Aku hanya bersungut ria mendengar apa yang ia ucapkan tanpa memberikan komen.

“bercanda gue, kan kemarin lu udah bilang gak suka lagi sama gue, haha walaupun gue sedikit nggak percaya sih” katanya lagi. Aku tidak menjawabnya sama sekali, hanya saja tanganku dengan cepat mencubit lengan kurusnya sekuat mungkin hingga ia meringis kesakitan dan mengaduh lumayan keras.

“aduhhhhhh, sakit tau uh uh” teriaknya tertahan sambil mengusap-usap bekas cubitanku. Aku hanya menjulurkan lidah.

“gila, lu ganas banget sih” katanya meledek. Aku ingin mencubitnya lagi, aku baru saja ingin mengacungkan tanganku mendekati lengannya. Tapi ia mencegahnya.

“ampun mbak, ampun, ampun” katanya lagi. Aku hanya sedikit tertawa melihat ekspresinya. Lucu. Imut banget deh pokoknya. Upss. Jangan salah fokus Ta!.

Dengan sedikit tergopoh-gopoh laki-laki yang tadi kami tanyai menghampiri kami. Dengan nafasnya yang tersenggal-senggal ia mulai berbicara

“maaf mas mbak, teryata Pak Rudi belum bisa bertemu sekarang, ada urusan penting, kami minta maaf mas mbak” jelasnya. Aku sempat kaget, bukan apa-apa hanya saja kami sudah menunggunya lumayan lama.

“oh, iya gak apa-apa mas, kami bisa kok balik kesini lagi besok” jawab Dhede tenang. Apa-apaan coba? Ah dia ini.

“maaf ya mas” ucap mas-mas itu lagi. Aku hanya berdiam. Sedikit kesal sebenarnya. Tau begini aku tidur-tiduran aja deh di kos Tutut.

“ah, iya gak pa-pa mas, kami yang perlu kok, ya udah mas, kami pamit, mari” ijinnya dengan sangat sopan.

Aku dengan malas dan wajah kusam bak baju tidak pernah disetrika dan dicuci mulai nangkring di motor Dhede. Aku tidak memperhatikan bagaimana wajahnya. Bahkan aku tidak melihat ada gurat kekecewaan di wajah bocah satu itu.

“kalau lu nggak mau, gue bisa kok dateng ksini sendirian besok” katanya tiba-tiba setelah kami meninggalkan percetakkan itu lumayan jauh. Aku tertegun. Tidak bisa berkata-kata.

“lu capek kan? Gue tau dari wajah lu yang udah mirip kangkung itu” godanya. Aku hanya terseyum simpul. Dia itu..ah baik sebenernya tapi resek.

“gue kesel sama bapaknya” ungkapku setelah tidak komen beberapa saat.

“tau gitu kan kita nggak usah repot-repot nunggu..uh” keluhku akhirnya.

“haha, gitu aja ngeluh, namanya juga usaha. Yang sabar dong, semua itu gak semudah yang lu pikirin, semua itu butuh proses, butuh usaha. Termasuk kalau suka sama orang haha” celetuknya. Aku berpikir sebentar.

“lu nyindir gue ya?” tanyaku kesal. Apaan sih dia ini, apa-apa akhirnya dikaitin sama aku suka sama dia dulu. sekarang juga sih dikit. Hehe.

“oh, lu ngrasa tersindir, ya maaf” katanya tanpa merasa bersalah.

“au ah gelap” tukasku sekenanya.

“udah besok nggak usah ikut aja, ngrepotin aja” timpalnya cepat.

“ihhh tadi kan gue nggak bermaksud ikut, Cuma temen-temen gue aja resek, nyodor-nyodorin gue” gerutuku padanya.

“ahaha kalau gitu pasti ada apa-apa” godanya lagi.

“ih, Dhede, lu tu reseknya nggak ketulungan banget ya” kataku sambil memelintir lengannya gemas.

“auuuuu, anjir, sakit banget tau, iya-iya sory, ih” katanya kesal. Aku hanya tertawa saja mendengarnya. Jujur aku suka berada di dekatnya seperti sekarang. Ini nyata bukan mimpi seperti yang pernah aku alami. Aku benar-benar bisa sedekat ini dengannya. Tuhan bisakah ini berlangsung selamanya? Aku menginginkan dia Tuhan, tapi dia tidak? Apa yang harus aku lakukan Tuhan??

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline