Lihat ke Halaman Asli

Warisan Embun Pagi

Diperbarui: 20 September 2024   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Warisan Embun Pagi

 

Embun pagi menyelimuti hamparan sawah di kaki Gunung Merapi. Udara sejuk menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru saja tersiram hujan. Di tengah hamparan hijau itu, berdiri kokoh sebuah rumah joglo tua, saksi bisu perjalanan waktu yang panjang. Di teras rumah, duduk seorang nenek tua bernama Mbah Karto, dengan kerutan halus di wajahnya yang menceritakan kisah hidup yang panjang.

 

Mbah Karto mengenakan kebaya warna cokelat muda, dihiasi motif batik khas daerahnya. Rambutnya yang memutih diikat rapi dengan ceplok, sebuah aksesoris tradisional yang melambangkan kebijaksanaan dan pengalaman. Matanya, meskipun sudah berkabut usia, masih memancarkan cahaya kehangatan dan kecerdasan.

 

Di tangannya, Mbah Karto memegang sebuah keranjang anyaman bambu, berisi hasil panen pagi itu. Beras merah, kacang tanah, dan cabai merah terhampar rapi di dalamnya. Itulah hasil jerih payah Mbah Karto dan para petani di sekitarnya. Mereka menanam dengan penuh kasih sayang, merawat dengan penuh kesabaran, dan memanen dengan penuh syukur.

 

"Embun pagi ini, cucu," ujar Mbah Karto, suaranya serak tapi penuh makna, "menyerupai rezeki yang datang dari Tuhan. Kita harus menjaganya, merawatnya, dan memanfaatkannya dengan bijak."

 

Mbah Karto kemudian menceritakan legenda tentang embun pagi. Konon, embun pagi adalah air suci yang turun dari langit, membawa berkah dan kesuburan bagi bumi. Itulah mengapa para petani di daerah itu selalu menghormati embun pagi, menganggapnya sebagai anugerah yang harus dijaga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline