Pandemi COVID-19 merupakan fenomena kesehatan global yang berimbas pada perekonomian global. Dampak dari fenomena ini adalah menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan dunia. Ketidakstabilan ditandai dengan penurunan aktivitas ekonomi, ketidakpastian pasar, meningkatnya resiko gagal bayar. Ketidakstabilan ini mengahruskan respon kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan. Untuk mengatasi kondisi ini, kebijakan makroprudensial menjadi sangat penting. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi risiko sistemik yang dapat mengancam stabilitas keuangan, terutama ditengah tantangan baru seperti perubahan preferensi dan pola konsumsi masyarakat yang berdampak pada sektor perbankan dan keuangan. Dengan menerapkan kebijakan makroprudensial, risiko-risiko dapat dikelola dengan melibatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan untuk mendukung pemuliahan ekonomi.
Perubahan konsumsi menyebabkan sektor keuangan dan perbankan menghadapi tantangan baru dalam penerapannya, khususnya dalam menjaga stabiltas dan fungsi lembaga intermediasi. Sebagai respon terhadap berbagai tantangan dalam sistem keuangan global maupun domestik, Bank Indonesia telah merumuskan serangkaian kebijakan di bidang makroprudensial sejak semester 1 tahun 2018. Tujuan merumuskan kebijakan makroprudensial ini adalah untuk memperkuat fungsi intermediasi keuangan yang seimbang dan berkualitas. Pada tahun 2018 Bank Indonesia menerbitkan dua instrumen kebijakan makroprudensial baru yaitu Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). RIM bertujuan untuk untuk memberikan fleksibilitas kepada perbankan dalam menyalurkan kredit, sementara PLM bertujuan untuk memastikan ketersediaan likuiditas yang cukup dalam mendukung pembiayaan yang produktif. Kebijakan RIM dan PLM di atur dalam Peraturan Bank Indonesia No.20/PBI/2018. Selain pengembangan kebijakan baru tersebut, Bank Indonesia juga memperkuat instrumen kebijakan makroprudensial Loan to Value (LTV) atau Financing to value (FTV) rasio atas kredit perumahan dan Countercyclical Buffer (CCB).
Sebagai bagian dari proses merumuskan kebijakan, Bank Indonesia melakukan Focus Groub Discussion (FGD) dan High Level Meeting (HLM) degan mempertibangkan hasil evaluasi dampak dari kebijakan yang telah di terapkan. Hasil evaluasinya yaitu, siklus kredit properti masih berada pada fase awal ekselerasi, Demand sektor properti cenderung meningkat, sebagai mana yang ditunjukkan dari peningkatan konsumsi rumah tangga ke sektor properti, tingkat hutang sektor rumah tangga yang masih rendah memberikan peluang bagi sektor perbankan untuk memperluas pembiayaan dengan risiko yang terukur. Langkah ini mencerminkan peran kebijakan makroprudensial dalam mendorong sektor properti, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendorong pemulihan ekonomi secara keberlanjutan.
Pelonggaran LTV ditetapkan berdasarkan dengan memperhatikan aspek kehati-hatian dan mitigasi resiko. LTV hanya berlaku pada bank yang memiliki manajemen resiko yang baik yaitu dengan rasio NPL total kredit/pembiayaan dibawah 5% , dan rasio NPL kredit/pembiayaan properti secara pertumbuhan dibahwah 5%. Pada tahun 2019 LTV mencapai pelonggaran hingga 100%, hal ini bertujuan menarik minat masyarakat untuk melakukan pinjaman kredit properti dengan cara menawarkan tanpa adanya jaminan. Selain itu juga instrumen CCB kembali diketatkan menjadi sebesar 0%. Tujuan dari penetepan ini adalah untuk mengatasi hasil esesmen yang menunjukkan belum adanya pertumbuhan kredit secara berlebihan yang berpotensi menyababkan resiko gagal bayar. Selain itu juga Bank Indonesia melakukan penyesuaian PLM untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dari 4% menjadi 6% dari dana pihak ketiga, dan juga PLM untuk Bank Syariah dari 4% mejadi 4,5% dari DPK dalam rupiah.
Sedangkan pasca COVID 19 kebijakan makroprudensial kembali dilonggarkan dengan pelonggaran rasio LTF dan FTV, insentif makroprudensial seperti CcyB dan RIM. Kebijakan ini dilonggarkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, mendukung sektor rill, dan mempersiapkan ekonomi hijau melalui dorongan pada inklusi keuangan hijau. Di tengah risiko global, BI juga memperkuat digitalisasi sistem pembayaran dan merencanakan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk mendukung ekosistem digital. Selain itu juga dilakukan pertahanan CcyB dari 0% dan LTV yang longgar. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ekonomi yang mampu memberikan dampak terhadap konsumsi dan investasi domestik. Selain itu RIM ditetapkan pada 84-94% dengan pengecualian tertentu juga mendorong fleksibilitas bank dalam penyaluran kredit, terutama untuk sektor sektor prioritas yang memiliki keterkaitan erat dengan perekonomian Indonesia.
Kondisi ini berarti bahwa strategi makroprudensial merupakan pilar penting dalam menjaga ketahanan sektor keuangan dan perbankan, khususnya setelah pandemi COVID-19. Sebagai fenomena kesehatan global yang berdampak besar pada perekonomian, pandemi memunculkan tantangan signifikan seperti ketidakstabilan pasar, penurunan aktivitas ekonomi, dan meningkatnya risiko gagal bayar. Dalam menghadapi kondisi ini, kebijakan makroprudensial berfungsi sebagai alat untuk mengatasi risiko sistemik, mendukung stabilitas sistem keuangan, dan mendorong pemulihan ekonomi secara berkelanjutan. Bank Indonesia telah menerapkan sejumlah kebijakan makroprudensial yang beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Instrumen seperti Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), Loan-to-Value (LTV), dan Countercyclical Buffer (CCB) dirancang untuk memberikan fleksibilitas sekaligus menjaga kehati-hatian dalam pengelolaan risiko. Pelonggaran LTV hingga 100% serta kebijakan fleksibel RIM di tengah pemulihan ekonomi menunjukkan upaya untuk mendukung sektor properti dan meningkatkan konsumsi rumah tangga. Langkah ini tidak hanya membantu sektor keuangan tetapi juga mendorong peran perbankan dalam menyalurkan kredit kepada sektor-sektor prioritas. Kebijakan makroprudensial yang berorientasi pada keberlanjutan, seperti insentif untuk inklusi keuangan hijau, turut mempersiapkan transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Strategi makroprudensial pasca-pandemi COVID-19 telah dirancang untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang diterapkan pada saat ini dapat digunakan untuk referensi kebijakan yang akan digunakan untuk masa yang akan datang dengan melihat fenomena dan kondisi yang sedang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H