Ketidakpastian perekonomian global yang disebabkan oleh guncangan geopolitik memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan stabilitas ekonomi yang masih rentan, Indonesia menghadapi risiko terhadap perubahan kondisi perekonomi global. Dua permasalahan utama yang tengah dihadapi adalah volatilitas nilai tukar rupiah dan inflasi. Volatilitas nilai tukar yang tinggi akan menyebabkan guncangan terhadap perekonomian, terutama pada sektor-sektor yang bergantung pada impor. Di sisi lain, inflasi yang terus meningkat mengurangi daya beli masyarakat dan menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok berpendapatan rendah. Kedua faktor ini saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan yang kuat terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Bank Indonesia sebagai bank sentral berperan penting dalam menjaga stabilitas perekonomian melalui kebijakan moneter yang efektif. Namun, Bank Indonesia dihadapkan pada dilema dalam memilih langkah yang paling tepat untuk menyeimbangkan antara pengendalian volatilitas nilai tukar dan stabilitas harga. Mengendalikan nilai tukar rupiah, dapat dilakukan dengan menaikkan suku bunga, tetapi langkah ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi daya beli masyarakat. Sebaliknya, menurunkan suku bunga mungkin mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi berisiko meningkatkan inflasi dan menurunkan daya saing rupiah. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan dalam mengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan supaya stabilitas perekonomian tetap terjaga di tengah tantangan global yang meningkat.
Sejak Oktober 2023, nilai tukar rupiah mengalami volatilitas yang cukup tinggi hingga pencapai 16.000/USD. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor eksternal, terutama tekanan dari ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh isu geopolitik, perang dagang ukraina juga Timur tengah. Selain itu, guncangan politik didalam negeri tentang isu pergantian presiden juga menimbulkan ketidakpastian. Ketidakpastian ini memicu pergeseran modal keluar (capital outflow) di Indonesia, karena investor mencari aset yang lebih aman. Akibatnya, permintaan terhadap dolar Amerika Serikat meningkat, sehingga menekan nilai tukar rupiah dan menyebabkan fluktuasi yang signifikan. Di sisi lain, inflasi di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak Oktober 2023 sebesar 2,56%. Inflasi yang tinggi sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan dan energi, yang sering kali menjadi komponen utama dalam menggerakkan inflasi di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2023). Inflasi aktual Indonesia memang terus meningkat, akan tetapi nilainya tidak melebihi dari Inflasi target sebesar 3 1% pada tahun 2023, jadi inflasi masih dalam posisi yang stabil. Sehingga untuk mengatasi kondisi tersebut Bank Indonesia tetap mempertahankan BI-Rate sebesar 6%. Tujuan Bank Indonesia tetap mempertahankan BI-Rate pada lever 6,00% adalah untuk fokus pada kebijakan yang pro-stability yaitu, untuk penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,51% pada tahun 2024 (Bank Indonesia, 2023).
Pada bulan Maret 2024, inflasi Indonesia mencapai angka 3,5%, mencerminkan peningkatan dari bulan sebelumnya sebesar 2,75%. Pendorong utama tingginya inflasi adalah kelompok volatile food. Kelompok ini terdiri dari bahan pangan seperti beras, daging, telur, cabai, dan bawang. Kenaikan inflasi pada bulan Maret sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya permintaan bahan pangan selama periode Ramada (Bank Indonesia, 2024). Selama bulan Ramadan, permintaan masyarakat terhadap bahan pangan cenderung meningkat karena perubahan pola konsumsi, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk persiapan menyambut hari raya. Peningkatan permintaan tidak diimbangi dengan pasokan yang memadai, kelangkaan bahan pangan juga di dukung oleh pergeseran musim tanam akibat dampak El-Nino, sehingga menyebabkan harga bahan pangan mengalami kenaikan. Bank Indonesia meyakini bahwa pada bulan depan inflasi tetap terkendali seiring dengan peningkatan produksi hasil panen yang telat, selain itu juga dengan inflasi diatasi dengan dukungan pengendali inflasi TPID dan TPIP melalui GNPIP di berbagai daerah.
Disisi lain nilai tukar Rupiah kembali terdepresi, hingga pada bulan April tahun 2024 nilai tukar rupiah mencapai 16.000/USD. Melemahnya nilai tukar rupiah merupakan dampak dari rilisnya data fundamental AS yang menunjukkan penguatan sehingga mendorong ekspektasi peningkatan suku bunga dan juga memanaskan konflik Timur Tengah. Bank Indonesia mengetatkan kebijakan moneternya melalui peningkatan suku bunga acuannya (BI-Rate) sebesar 25 bps mencapai 6,25% pada bulan April 2024. Tujuan di naikkannya suku bunga acuan (BI-Rate) adalah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global, serta untuk mempertahankan supaya inflasi dalam posisi stabil dengan kisaran sebesar 2,5 1% (Bank Indonesia, 2024). Peningkatan suku bungan acuan (BI-Rate) digunakan untuk mengimbangi kenaikan suku bunga acuan AS, hal ini bertujuan untuk kembali menarik minat investor asing ke Indonesia dan mengurangi tekanan jual terhadap rupiah. Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupih memlalui intervensi di pasar valas dan pembelian surat berharga SBN dari pasar sekunder. Pengelolaan likuiditas yang memadai merupakan upaya yang di gunakan oleh Bank Indonesia untuk menjaga dana dalam sistem perbankan cukup, sehingga stabilitas moneter tetap terga. Jika stabilitas moneter terjaga, aktivitas ekonomi domestik akan membaik.
Bank Indonesia, sebagai bank sentral sekaligus pengendali stabilitas ekonomi Indonesia, harus berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam merumuskan kebijakan di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini. Dalam upayanya untuk mengendalikan volatilitas nilai tukar rupiah, BI harus memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil tidak akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Misalnya, kebijakan menaikkan suku bunga acuan bertujuan untuk memperkuat nilai tukar dan meredam inflasi, tetapi memiliki risiko memperlambat pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, menurunkan suku bunga dapat mendorong ekonomi, namun berpotensi melemahkan rupiah dan meningkatkan inflasi. Ketidakhati-hatian dalam mengambil keputusan berisiko memunculkan krisis ekonomi di tengah ketidakpastian global yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus tepat supaya perekonomian indonesia terus stabil dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H