Menurut Bank Indonesia inklusi keuangan indonesia menunjukkan perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah terjadinya pandemi Covid-19. Pembatasan sosial mendorong masyarakat ke arah transisi era digital, hal ini berdampak pada peningkatan penggunaan teknologi dalam transaksi dan layanan keuangan. Dampak dari kondisi tersebut menyebabkan banyaknya adopsi layanan keuangan seperti keuangan digital, pembayaran elektronik, dompet digital, dan pinjaman online. Dengan meningkatnya adopsi teknologi finansial, semakin banyak orang yang kini memiliki akses ke layanan keuangan yang sebelumnya sulit dijangkau. Dalam konteks ini, gagasan Central Bank Digital Currency (CBDC) muncul sebagai inovasi yang menawarkan potensi besar, tetapi juga membawa berbagai tantangan. CBDC, sebagai versi digital dari mata uang yang dikeluarkan oleh bank sentral, menimbulkan pertanyaan penting tentang dampaknya terhadap kebijakan moneter. Apakah CBDC merupakan inovasi yang dapat meningkatkan efektivitas kebijakan moneter ataukah justru ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan?
Bank Indonesia memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan inklusi keuangan digital, terutama ketika terjadi perubahan pola transaksi selama pandemi Covid-19. Sebagai hasilnya, penggunaan transaksi online dan layanan akses layanan keuangan digital mengalami peningkatan. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas kebijakan moneter, Bank Indonesia menetapkan kebijakannya yaitu dengan memberikan insentif kepada bank-bank yang mampu memenuhi target penyaluran kredit, khusus untuk sektor sektor yang kurang terlayani seperti usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta masyarakat di daerah daerah terpencil. Hal ini bertujuan untuk mendorong penyaluran kredit juga untuk memperluas akses keuangan dan dapat meningkatkan inklusi keuangan.
Munculnya gagasan tentang Central Bank Digital Currency (CBDC) menekankan pentingnya kerja sama antara pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, penyedia layanan keuangan, dan perusahaan teknologi. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa CBDC adalah inovasi yang berpotensi memberikan dampak positif terhadap kebijakan moneter. Dengan CBDC, bank sentral memiliki kendali langsung atas jumlah uang yang beredar dalam ekonomi digital, yang dapat mempermudah pelaksanaan kebijakan moneter. Dalam sistem moneter saat ini, Bank indonesia masih bergantung kepada bank komersial untuk menyalurkan uang dan menyalurkan kredit ke pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penerapan kebijakan moneter masih lambat karena membutuhkan proses yang lama. Dengan adanya CBDC Bank Indonesia dapat mempermudah dilakukan karena transaksi CBDC dilakukan secara digital, Bank Indonesia dapat menambah jumlah CBDC yang beredar untuk meningkatkan peredaran uang. Sebaliknya, jika diperlukan pengendalian inflasi, bank sentral bisa dengan cepat mengurangi jumlah CBDC yang beredar.
Disisi lain juga CBDC juga mempermudah Bank Indonesia dalam mempercepat transmisi kebijakan moneter seperti pengaturan tingkat suku bunga. Pada sistem tradisonal, kebijakan suku bunga biasanya diterapkan melalui bank komersial dan lembaga keuangan lainnya, kemudian mempengaruhi suku bunga pinjaman dan deposito. Proses yang lalui lama juga terkadang dampaknya tidak langsung di rasakan oleh masyarakat. Melalui CBDC bansentral dapat mengimplementasikan kebijakan suku bunga secara langsung kepada pemegang CBDC tanpa melalui perantara, jika Bank Indonesia ingin menurunkan suku bunga untuk mendorong masyarakat dan bisnis agar lebih banyak membelanjakan uang, hal ini dapat dilakukan secara langsung melalui CBDC dengan mengurangi suku bunga pada saldo CBDC yang dimiliki masyarakat. Diterapkannya CBDC mempermudah Bank Indonesia dalam penerapan kebijakan moneternya, selain itu juga kebijakan moneter menjadi lebih cepat dan langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
Akan tetapi, meskipun CBDC memiliki dampaknya positif, tidak menutup kemungkinan masih terdapat tantangan untuk penerapannya di Indonesia. Literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah menjadi salah satu tantangan utamanya. Untuk mencapai keberhasilan dalam penerapan CBDC, diperlukan penerimaan masyarakat terhadap digital currency. Jika masyarakat tidak percaya atau tidak memahami manfaar dan cara kerja digital currency dapat menimbulkan penerapan digital currency sangat rendah. Kondisi ini dapat di cerminkan melalui literasi keuangan masyarakat indonesia yang masih rendah.
Berdasarkan data yang di peroleh dari dokumen Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia yang disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2021. Tingkat literasi keuangan di Indonesia menunjukkan variasi yang cukup signifikan antar sektor keuangan. Pada sektor perbankan, literasi keuangan cukup baik dengan 21,80% masyarakat berada dalam kategori "well literate" dan 75,44% "sufficient literate." Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup untuk menggunakan produk dan layanan perbankan. Namun, sektor asuransi, pembiayaan, dan pegadaian menunjukkan tingkat literasi yang lebih rendah. Pada sektor asuransi, misalnya, hampir 39,80% masyarakat masuk dalam kategori "not literate," artinya banyak yang tidak memahami produk asuransi. Begitu pula di sektor pembiayaan dan pegadaian, yang masih memiliki tingkat literasi yang rendah. Rendahnya literasi ini bisa memengaruhi penggunaan layanan keuangan dan pengambilan keputusan yang tepat. Sektor dana pensiun dan pasar modal memiliki tingkat literasi terendah, di mana 81,03% masyarakat tidak memahami produk di sektor tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya edukasi atau akses ke informasi mengenai investasi dan tabungan jangka panjang. Untuk meningkatkan literasi keuangan, dibutuhkan upaya lebih dalam edukasi dan penyebaran informasi mengenai layanan keuangan yang lebih beragam agar masyarakat dapat memanfaatkannya secara optimal.
Selain itu, hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 oleh OJK menunjukkan bahwa literasi keuangan masyarakat Indonesia mencapai 49,68%, sementara inklusi keuangan mencapai 85,10%. Terdapat kesenjangan sebesar 35,42%, kesenjangan ini disebabkan oleh banyaknya layanan keuangan seperti pembayaran digital dan rekening bank yang mudah diakses, tetapi tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai tentang produk keuangan. Kurangnya edukasi tentang produk keuangan yang kompleks seperti investasi, asuransi, dan dana pensiun turut menjadi penyebab utama. Selain itu, tingkat literasi keuangan di wilayah pedesaan hanya 48,43%, lebih rendah dibandingkan 50,52% di perkotaan. Kesenjangan ini lebih terasa di daerah terpencil, di mana akses ke informasi dan edukasi keuangan terbatas. Akibatnya, banyak masyarakat yang menggunakan layanan keuangan tanpa pemahaman yang cukup, memperbesar jarak antara akses dan pengetahuan di kalangan pengguna layanan keuangan.
Penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC) di Indonesia dapat menjadi inovasi yang menjanjikan untuk memperkuat efektivitas kebijakan moneter di Indonesia, terutama dalam mempercepat transmisi kebijakan suku bunga dan memperkuat kontrol terhadap jumlah uang beredar. Namun, penerapannya juga dihadapkan pada tantangan yang signifikan, terutama rendahnya literasi keuangan masyarakat. Kesenjangan ini menimbulkan risiko bahwa sebagian besar masyarakat, terutama di daerah pedesaan, mungkin tidak memahami sepenuhnya cara kerja CBDC. Karena itu, penting bagi pemangku kepentingan untuk memastikan kerangka regulasi, infrastruktur, dan edukasi yang memadai untuk mendukung penerimaan dan pemahaman masyarakat terhadap CBDC, sehingga inovasi ini dapat berjalan dengan sukses tanpa menimbulkan risiko terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H