Buat kalian yang sedang atau pernah mengarungi bahtera ilmu dalam tatanan sekolah, pasti sudah ngga asing lagi dengan yang namanya rangking atau peringkat. Iya, cara yang tiap setengah tahun sekali sebagai parameter kemampuan siswa dalam menangkap materi pembelajaran selama 1 semester ini kerap menjadi ajang pertaruhan bagi sebagian siswa yang memiliki daya juang tangguh dan ambisius.
Tidak hanya para siswa, tapi orang tua siswa juga sering tak luput memberikan amunisi senjata dan sarana tempur lainnya untuk membuat si anak terus on fire dalam mendapatkan tahta tertinggi sebagai peringkat 1. Beberapa sekolah atau kelas yang dipertanggungjawabi oleh seorang guru wali kelas terkadang secara gamblang mengumumkan peringkat terbawah hingga teratas sesuai dengan jumlah siswa dalam satu kelas tersebut.
Ada juga yang hanya menyebutkan peringkat sepuluh hingga satu, dengan berbagai macam dalih yang salah satunya adalah menjaga marwah si peringkat satu dari bawah alias peringkat terakhir. Pernah juga saya dulu merasakan guru wali kelas hanya mengumumkan peringkat lima sampai satu, alasannya? Entahlah saya tidak bepikir untuk mempertanyakan alasannya pada waktu itu, mungkin sama juga untuk menjaga marwah sang anak muridnya (?).
Tulisan ini dapat saya rangkai dengan sederhana berkat obrolan sederhana dari 2 teman saya yang luar biasa dalam mempertahankan titahnya sebagai juara di kelas masing- masing. Saya cukup beruntung berteman dan bersahabat baik dengan para juara ini. Sebut saja namanya N dan yang satunya M.
Kesamaan dari keduanya adalah konsistensi buat mempertahankan rangking 1 nya, dan yang unik adalah keduanya bukan orang yang sangat ambisius mempertahankan gelar ini. Entah karena sudah terlalu biasa atau teman-teman sekelasnya yang tidak mampu bersaing dengannya (termasuk saya).
Jadi, bisa dikatakan, mereka memperoleh gelar itu tanpa perlu kerja keras darinya untuk ikut les ini itu seharga sebuah sapi dewasa dan orangtuanya pun ga perlu spare uang yang lumayan (bagi saya) untuk memfasilitasi anaknya les yang muahalll itu. Tapi ya tidak bisa dikatakan juga kalau mereka cuma haha hihi ga belajar sama sekali.
Kedua teman saya ini memiliki latar belakang yang berbeda.
Kita bahas dulu si N. Dia adalah anak sekian dari kesekian bersaudara, atau gampangnya keluarga besar. Harus diakui, N diberkati dengan bekal gen yang mumpuni dari kedua orang tuanya. Ia adalah siswa teladan yang melahap semua pelajaran dengan sangat baik, bahkan dalam bidang olahraga yang biasanya menjadi kelemahan si cerdas. Saya mengenalnya dengan baik sejak sekolah dasar hingga sekarang.
Sedangkan untuk M. Dia adalah si sulung dalam keluarganya. Saya sekelas dengan dirinya saat duduk di bangku SMA. Awal perkenalan saya adalah karena hasutan guru matematika yang memberikan saya ide untuk mendekatinya agar saya dapat mengerti dan memahami materi matematika yang disampaikan oleh guru saya ini. Iya, benar, saya memang melakukannya dan memanfaatkan dia. Untung saja dia pintar, kalau tidak ? mungkin tulisan ini tidak akan pernah ada hahaha.
Saya dan dia berteman dekat karena kepintarannya dan dipererat lagi dengan seblak yang jadi makanan favorit kita. Oke, kita fokus ke latar belakangnya lagi. Si M ini adalah santriwati yang bersekolah di sekolah negeri. Jam dalam kehidupannya terasa singkat dan kurang jika harus belajar materi sekolah dengan baik.
Dia hanya belajar seperlunya saja dan sering ketiduran di dalam kelas karena kegiatan pondok yang cukup menguras waktu dan tenaganya. Lucunya adalah, dia selalu mengatakan kalau dia tidak mondok tapi ngekos.
Karena dia hanya melaksanakan aktivitas di pondok sepulang sekolah dan diakuinya, prioritasnya memang untuk sekolah formal. Mondok jadi pilihan yang cocok untuknya karena selain jarak rumah yang terlalu jauh, cultur di desanya membuat aturan tak tertulis jika perempuan paling tidak harus mondok sekali dalam hidupnya.