Sejarah Indonesia mencatat, sebuah polemik mengenai proses dalam perumusan Pancasila. Sebelum penetapan yang ditegaskan oleh BPUKI sebagai dasar Negara. Tak lain karena ada persepsi yang menyebutkan bahwa Moh. Yamin adalah perumus isi Pancasila seperti yang kita ketahui saat ini. Pernyataan ini tidak main-main, karena langsung dikemukakan oleh sejarawan Nugroho Notosusanto.
Mengapa pandangan Nugroho Notosusanto kemudian dikecam oleh para tokoh pendiri bangsa? Berikut kisahnya...
Pada tahun 1950, Moh. Yamin pernah melakukan sebuah riset mengenai rumusan UUD 1945. Namun Moh. Yamin memerlukan risalah mengenai Pancasila secara otentik sesuai hasil yang disepakati oleh BPUPKI. Salah satunya dengan meminjam salinan hasil rapat atau notulensi yang dimiliki oleh AK. Pringgodigdo, sedangkan salinan lainnya ada di Belanda.
Hal itu dilakukannya agar dapat memiliki data otentik yang sesuai dengan rumusan Pancasila sesuai pandangan dari setiap tokoh yang mengajukan usulan. Nah, berangkat dari dokumen AK. Pringgodigdo inilah, Moh. Yamin berhasil menuliskan bukunya mengenai Naskah Persiapan UUD 1945. Tetapi, usai buku tersebut selesai, salinan tersebut tidak dikembalikan kepada AK. Pringgodigdo.
Fatalnya, salinan lainnya yang ada di Belanda dan disimpan oleh AG. Pringgodigdo belum diketahui dimana rimbanya. Padahal satu-satunya data otentik mengenai jalannya rapat BPUPKI hingga PPKI hanya dimiliki oleh Pringgodigdo bersaudara. Selama kurun waktu 1959 hingga 1990, buku yang ditulis oleh Moh. Yamin selalu menjadi rujukan Pemerintah.
Dalam buku tersebut ditegaskan bahwa, Soekarno bukanlah orang satu-satunya perumus Pancasila. Bahkan isi Pancasila seperti yang kita ketahui saat ini adalah hasil dari buah pikiran Moh. Yamin dan Soepomo, tegas Nugroho Notosusanto dalam buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik.
Apalagi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang pernah mencoba merumuskan pengertian Pancasila untuk diterapkan sebagai asas tunggal. Lima tokoh (Moh. Hatta, Achmad Soebardjo, AA. Maramis, Mr. Sunario, dan AG. Pringgodigdo) pun dengan tegas menolak pendapat Nugroho, karena hanya melihat dari sudut pandang Moh. Yamin.
Moh. Hatta sebagai pelaku sejarah yang sangat dekat dengan Soekarno pun memberi penegasan lain. Bahwa Soekarnolah yang telah merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara secara mandiri, dan tidak dipengaruhi oleh dua tokoh lainnya. Namun, apapun dasar sanggahan yang dikemukakan, Pemerintah tetap memiliki keputusan sesuai dengan persepsi Moh. Yamin.
Walaupun secara faktual dijelaskan pula, bahwa Soekarno sendiri tidak menghendaki terjadinya penyimpangan persepsi. Dengan kata lain, Soekarno berpandangan bahwa Pancasila adalah hasil rumusan dari para tokoh bangsa. Hasil buah pikiran dari tokoh-tokoh hebat, yang direduksi menjadi lima asas pada Pancasila.
Inilah kiranya, yang kita pahami sebagai upaya deSukarnoisasi pasca peristiwa Oktober 1965. Memang menjadi hal yang lumrah, karena sejarah ditulis oleh para pemenang. Namun, memahami Pancasila sebagai dasar Negara, tidaklah dapat disajikan hanya dalam isi yang terkandung di dalamnya, melainkan makna dan proses yang terjadi sehingga mampu menghasilkan pondasi bagi bangsa.