¤Makin paten/maju/ekslusif pengobatan suatu penyakit, biasanya diikuti dengan makin berkurangnya jumlah Penderita penyakit tersebut seiring naiknya tingkat kesembuhan. Misalkan, Cacar Air, Batuk Sariawan, Polio, Gondok dan lain-lain. Tetapi tidak dengan AIDS! Semakin Update obatnya semakin bertambah-tambah jumlah penderitanya.
Menurut Kepala Rumah Sakit Khusus Infeksi Universitas Airlangga (RSKI-Unair), Prof Dr Boerhan dr SpA(K), angka pengidap HIV/AIDS di Indonesia berada pada posisi terbesar nomor tiga sedunia. Sampai dengan 31 Desember 2014, jumlah kumulatif HIV yang dilaporkan sebanyak 160.138 orang dan AIDS 65.790 orang dengan 11.801 kematian. Parahnya, Indonesia sekaligus juga menjadi negara nomor satu tercepat laju pertambahan orang-orang baru yang terinfeksi HIV. Propinsi dengan kasus infeksi HIV tertinggi yaitu : DKI Jakarta 34.641 kasus, diikuti Jawa Timur 20.761 kasus, Papua 7.365 kasus, Jawa Barat 13.938 kasus, dan Bali 10.188 kasus.
¤
Mengapa AIDS semakin merajarela padahal pengobatannya sudah tersedia dimana-mana?
¤
***MASA JENDELA***
Kasus AIDS pertama kali dilaporkan tanggal 5 Juni 1981, di Amerika Serikat. Sejak itu, seolah dunia diintimidasi oleh AIDS. Segala sumber daya dikerahkan untuk meneliti, menangkal bahkan sampai mengkarantina AIDS. Ketika masih menjadi momok baru yang menakutkan, media dunia menyoroti habis-habisan setiap mendapati sebuah kasus AIDS, apalagi jamak. Indonesia termasuk negara yang cepat bereaksi mencegah dan menangkal masuknya AIDS melalui pemeriksaan Keimigrasian kala itu. Edukasi massal pada berbagai lapisan masyarakat juga didengungkan siang dan malam. Namun pada akhirnya, AIDS berhasil juga menembus Indonesia. Penderita AIDS pertama di Indonesia adalah Edward Hop seorang wisman warga negara Belanda yang meninggal di RS Sanglah, Bali (15/4/87).
Seseorang seperti Edward Hop bisa saja lolos pemantauan test kesehatan imigrasi karena seorang yang terjangkit HIV itu tidak serta merta langsung dapat didiagnosa pada hari dimana HIV mulai terinfeksi. Dibutuhkan masa sedikitnya 3 bulan inkubasi di dalam tubuh, barulah Pengujian bisa mendeteksi adanya virus HIV yang bersemayam di dalam tubuh. Untuk mengetahui virus sudah merusak sistem kekebalan tubuh atau pengidap HIV sudah terjangkit AIDS setidaknya dibutuhkan rentang waktu ±5 tahun sejak mulai tertular.
Untuk menguji keberadaan HIV dapat dilakukan dengan test darah. Darah akan diperiksa di laboratorium. Tes ini berfungsi untuk menemukan antibodi terhadap HIV di dalam darah. Tapi tes darah ini baru bisa dipercaya jika dilakukan setidaknya 3 bulan setelah terinfeksi HIV karena antibodi terhadap HIV tidak terbentuk langsung setelah infeksi awal. Antibodi terhadap HIV butuh waktu setidaknya sekitar 3 bulan, sebelum akhirnya muncul di dalam darah. Masa antara infeksi HIV dan terbentuknya antibodi yang cukup untuk menunjukkan hasil tes positif disebut sebagai “Masa Jendela”. Dalam rentang Masa Jendela ini, seseorang yang positif terinfeksi HIV sudah bisa menularkan virus, meski pada tes darahnya si pengidap dinyatakan negatif karena tidak/belum terlihat adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.
¤
***PESAN BERANTAI***
Masa Jendela umumnya menyebabkan orang yang baru terjangkit HIV tidak menyadari dirinya adalah wadah pembawa/penyebar/pengedar virus HIV. Anggaplah, karena adanya edukasi yang gencar dari badan-badan AIDS, yang bersangkutan sudah mengetahui dengan cara apa dan bagaimana HIV dapat ditularkan. Namun, karena seseorang belum menyadari bahwa pada hari ini sebenarnya HIV mulai bersemayam ditubuhnya, walau hanya akibat satu kali berhubungan seksual dengan orang yang salah maka, keesokan harinya tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan tanpa merasa berdosa menularkan virus HIV melalui hubungan seks dengan orang yang lain lagi. Akhirnya dari satu orang semisal, Edward Hop, virus HIV menjadi "Pesan Berantai" yang mengakibatkan jumlah penderita bertambah berganda-ganda!
¤