9
RIZA GASSNER & NOVITA MARIA ( Nomor ; 137 )
Juan, sebutlah namanya, seorang pria mendekati 40-an. Masih terlihat jelas di wajahnya kegantengan nan memukau pada masa muda. Cerita ini diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami empunya nama belasan tahun lalu di masa ia masih menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup beken di Ibukota.
Asap rokok menghembus lembut, menerawang ke masa silam, Juan yang kini duduk di kursi roda karena menurut kabar, urat kakinya putus digigit seekor anjing gila, memulai sebuah cerita. “Esok pagi, tepatnya satu hari menjelang Valentine adalah puncak karierku sebagai seorang Casanova. Ya, karier yang tak seorangpun di kampus ini tahu, bahkan tidak juga para korban rayuanku. Tak satupun diantara mereka membenciku. Hmm.., para wanita korbanku selalu beranggapan akulah si pelipur lara rahasianya. Ya, pelipur lara rahasia! Tak satupun dari wanita yang pernah kucumbu itu tak punya pacar, gandengan atau malah tunangan! Kacamata minusku telah melindungi sepak terjangku, menurut para mahasiswa akulah si Cemen atau si Cupu dengan kekasih segala diktat dan buku. Akan tetapi, menurut kekasih mereka yang cantik-cantik itu, akulah tempat berlabuh segala duka dan luka karena cinta,” bathin Juan tersenyum lebar. Masih diingat Juan, keringat lelah Sinta, peluh letih Linda dan wajah lepas bebas Yosy bak musafir gurun yang kehausan menemukan jernihnya air sebuah oase. Jelas terngiang ditelinganya, jerit Desi, erangan garang Dian dan lenguhan berat Tita sebelum tertidur sepulas-pulasnya. Di pelupuk matanya, masih ada terbayang banyak Ekspresi raut wajah korbannya ketika mereka ia bawa terbang ke puncak. Ia merelakan punggungnya menjadi wadah relief banyak kuku-kuku lentik korbannya. Ia sediakan jemarinya menjadi pelampiasan gigi-gigi ketimun mereka. Bahkan tak jarang rambutnya menjadi korban jambakan liar teman-teman wanitanya yang notabene, mereka itu adalah kekasih rekannya sesama mahasiswa juga. Geli hati Juan ketika suatu saat Siska bertanya di tengah rasa rileks menikmati derasnya kucuran keringat, “Juan, kok kamu lain ya? Lebih mantap dari si Rio pacarku bahkan si Bram pacar pertamaku yang pebasket itupun ngak ada apa-apanya, lho?” Tertawa hati Juan, saat Kartika meratap padanya di meja kantin kampus, “Juan, sumpah deh, si Angga itu payah betul tak lebih dari 2 menit. Kapan lagi donk, Juan?” Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat rahasia serupa yang meluncur dari bibir para korbannya saat mereka sakauw kecanduan. Tak satupun dari para pecandu itu yang tahu bahwa ia sebenarnya seorang Casanova yang berhasil membantai seluruh anggota sebuah genk yang terdiri dari para mahasiswi hi-class. Tak satu katapun cerita tentang kisah asyik masyuknya keluar kepasaran. Ia, seorang mahasiswa kutu buku tak punya pacar, itu saja! Menatap hasil sisiran rambutnya kedalam cermin almari kamar tidurnya, ingatan Juan melayang tatkala Bu Dosen Rara yang masih cuahaaanntttiikkkk dalam usia 33 -an itu meminta tolong untuk mengantarnya esok pagi ke Bandung. “Juan, Esok pagi kamu bisa tidak, tolong kemudikan mobil saya ke Bandung. Adik suami saya akan menikah disana bertepatan dengan hari Valentine. Saya khawatir, karena kesibukan mempersiapkan akad dan resepsi, suami saya, tak bisa datang menjemput. Bagaimana, bisakan kamu?” Hampir saja mata Juan melompat keluar karena SureEEpeeraaAAiiisssezzz, jika saja ia tidak ingat, matapun harus terlihat lembut hingga para calon korban merasa nyaman dan aman. Juan, mengetahui betul kata nenek, “jika seorang pria berduaan dengan seorang wanita maka orang ketiganya adalah setan!” Demikian halnya dengan Bu Dosen Rara, jika berduan dengannya esok hari, ia berharap ada seribu setan garong menemani demi kesuksesan misinya. Sekalipun sebenarnya Bu Rara itu adalah istri dari Dosen seniornya sendiri, ia tak peduli bahkan setanpun mendorongnya untuk tak peduli. itulah puncak karier seorang CASANOVA sejati, berhepi-ria dengan istri orang tanpa ketahuan!
Pagi 14 Februari, Juan memacu motor kreditannya kearah Mampang Prapatan, area dimana Bu Dosen Rara dan suaminya, Pak Dosen Senior bertempat tinggal. Tiba di depan elang rokok yang bersarang di pinggir mulut sebuah gang yang hanya cukup dilalui satu buah motor dan satu buah mobil, Juan menghentikan motornya.
“Pak, ada Getsbi,?” tanya Juan pada empunya elang rokok.
“Getsbi? O, ada? Berapa?”
“Satu saja, Pak,” jawab Juan seraya menyerahkan selembar lima ratusan bergambar kijang kencana.
Setelah menyeka wajahnya dengan perfume tissue, Juan menyemprot sekujur kemejanya dengan senjata andalannya, Drakar Noir.
Empunya elang roko terbengong-bengong melihat kelakuan Juan, hidungnya kembang kempis kebagian sisa uap dari Drakar.
Juan tak peduli, ia tahu benar, Drakar Noir adalah aroma therapy khas padang rumput Arkansas yang mampu mengeksploitasi sisi-sisi kejantanan pria hingga tampil lebih mudah untuk membangkitkan libido kaum hawa. Ajaib, tiba-tiba sekujur tubuh Juan dilingkupi oleh cahaya Ke-PeDe-an berwarna jingga keemasan.