Lihat ke Halaman Asli

Novita Bayuarti

penyuka dunia sastra, seni dan budaya

Katak Dalam Tempurung

Diperbarui: 27 September 2020   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya kok mesti menahan geli sekaligus miris kalau hari gini di lingkungan akademisi masih saja ada sentimen SARA yang menunjuk hidung etnis tertentu.

Sebut saja etnis Tionghoa (Chinese), wong Cino kalau disebut dalam dialek Jawa. Saya auto ngakak dengan jawaban santai teman saya yang Cino-Jowo atas sentimen tersebut, "Nek aku Cino njuk ngopo?"

Betul juga ya, kalau dia Cina terus kenapa?  Masalah dia apa? Nggak ada kan? Lha wong dia juga nggak bisa request mau dilahirkan menjadi etnis apa. Yang punya masalah justru yang mempermasalahkan ke-Cina-annya.

"Tapi Cina itu komunis, komunis itu musuh Islam!" Walah sik to sik...masalah etnis kok jadi lompat jauh ke ideologi politik apalagi sampai bawa-bawa agama? Logikanya itu lho... (Silahkan baca postingan sebelumnya: Bambang & Hantu Komunis)

"Pertanyaan saya: Hongkong, Taiwan, Singapura itu komunis bukan?" Dan kemudian hening sejenak. "Cina-cina juga lho itu."

"Cina Tiongkok itu yang komunis!"

Pemahanan yang sangat dangkal sebenarnya, tapi tak apalah. Mungkin memang referensinya yang masih kurang. "Lalu hubungannya dengan WNI keturunan Cina? Tetanggamu yang Cina itu toh juga bukan WN Tiongkok, KTP punya, paspor Indonesia, mau ke Tiongkok juga harus bikin visa sama seperti kita, pun dengan WNI etnis Tionghoa lainnya. Terus masalahmu?"

"Mereka tidak mau berbaur!"

Sudah belok dari topik rupanya. "Alih-alih sentimen dan menganggap mereka tidak mau berbaur, pernah kau tanya alasannya? Atau hanya berdasarkan asumsi belaka atau bahkan celakanya hanya karena kebencian semata?" Kebencian yang dibuat dan ditanamkan turun-temurun.

Ada dua peristiwa kelam dalam sejarah yang masih melekat bahkan menyisakan trauma dalam benak keluarga maupun anak turun mereka yang terpaksa terusir dari negri ini, yakni peristiwa '65 & kerusuhan '98. Bagi yang masih berstatus WNI, keduanya seakan menjadi pondasi tembok penyekat yang menjulang hingga ke langit.

Adalah Habibie di masa jabatannya yang singkat pada akhirnya mulai merobohkan tembok penyekat itu dengan membatalkan aturan-aturan diskriminatif warisan Soeharto terhadap etnis Tionghoa. Gus Dur melanjutkannya dengan menyudahi konsep dikotomi pribumi dan non pribumi dengan kebijakan yang menjamin kebebasan etnis Tionghoa untuk menjalankan kepercayaan dan budayanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline