Sudah, cukupkan semua kegaduhan yang bersumbu pada kedengkian yang kronis ini. Ada apa dengan bangsa ini? Kami lelah, kami sedih tiap kali membaca berita tentang negri ini. Ah jangan percaya media asing? Negara lain mana tahu urusan negara kita! Ngapain mereka ikut campur! Urusi saja urusan dalam negri kalian! Kalimat-kalimat seperti ini meluncur dari mulut seorang wakil rakyat yang mungkin berpikir kalau Indonesia itu ada di Merkurius bukan di Bumi, hidup berdampingan dan menjadi bagian masyarakat dunia.
Dia pun mungkin tak tahu ada berjuta anak bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia yang menyandang dan mempertahankan identitas mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Beberapa dari kami mungkin masih mengalami majority arogancy syndrome ketika mereka baru tiba di negara lain, berperilaku, bertingkah dan bahkan berbicara sesuka hati di media sosial. Dan baru ketika mereka perlahan tidak dianggap dan ditinggalkan, baru akhirnya mereka menyadari dan paham bagaimana rasanya menjadi minoritas.
Kita tak pernah meminta untuk terlahir menjadi mayoritas atau pun minoritas. Tak ada yang salah dengan perbedaan suku, agama, ras. Tuhan yang menentukan itu semua. Kalau Dia mau, Dia bisa menciptakan manusia hanya satu suku saja, satu agama saja, satu ras saja dengan warna kulit, warna rambut, bentuk mata, hidung, tulang pipi yang sama seperti hasil kloning. Tapi tidak kan?
Kami lahir dan besar di negri ini. Negri yang kami banggakan karena ke-Bhinekaan-nya dan ke-Tunggal Ikaan-nya. Dan di mana pun kami berada, kami tidak akan pernah berhenti untuk mencintai negri ini. Dan semoga kecintaan ini masih bisa membuat kami untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H