Lihat ke Halaman Asli

Bukan Penyesalan

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada satu masa. Saat usia saya berkisar antara 25 tahun hingga 30 tahun. Saya dicekam oleh ketakutan yang luar biasa. Rasa yang selalu menghantui di setiap siang dan malam yang saya lewati. Selalu merasa gelisah karena ketakutan akan kematian.

Membayangkan bahwa kematian akan datang kapan saja. Tanpa pernah seorang pun tahu waktunya dengan pasti. Membuat saya dirundung rasa galau yang berkepanjangan. Pertanyaan demi pertanyaan pun selalu berada dalam pikiran saya dan tak berkesudahan. Kapan waktunya. Dimana tempatnya. Bagaimana terjadinya. Apa yang akan terjadi sesudahnya. Bagaimana saya bisa menghadapinya. Apa siksa kubur yang akan saya terima atas dosa-dosa saya. Pertanyaan terakhirlah yang paling menyiksa saya.

Yah, saya berusaha menjalani proses ini dengan ikhlas dan sabar. Mencari jawaban dari setiap pertanyaan. Membekali diri dengan ilmu kematian dan akhirat. Bertobat. Memperbaiki diri. Mengurangi iri, dengki dan kemarahan. Berusaha menjauhi setiap laranganNya. Dan tak ketinggalan berdoa.

Hingga usai masa itu. Saya kini memahami bahwa pada akhirnya proses manusia memang akan berakhir di situ. Berhenti hidup. Mati. Tak ada lagi embel-embel. Tak ada lagi cerita.

Pindah ke Lombok juga memberikan suatu pengalaman batin yang luar biasa tentang kematian. Setiap hari saya selalu mendengar orang membacakan berita kematian dari pengeras suara masjid terdekat. Setiap hari selalu saja ada berita kematian akibat sakit, atau sering juga karena kecelakaan. Meski tetangga sekitar membicarakan perihal kematian seseorang. Akan tetapi sama seperti hari-hari lainnya saya beraktivitas seperti biasa. Semua menjalani proses alami itu. Tanpa ada halangan berarti.

Tiga pengalaman kematian yang sangat berbekas dalam benak saya dan sampai kapan pun tak dapat saya abaikan. Adalah kematian seorang kakak ipar, seorang tetangga dan keponakan suami.

Pengalaman pertama akan kematian adalah kakak ipar yang meninggal karena komplikasi ginjal. Meski ia seorang dokter ternyata ia sendiri tidak bisa menolak takdirnya. Ketika itu, saya baru saja masuk kuliah. Melekat dalam ingatan saya ketika jenazahnya disemayamkan di rumah kami. Dan saya merasa ketakutan. Lebih karena cerita-cerita horor dibalik suatu kematian. Sesudah peristiwa itu saya beberapa kali bermimpi didatangi olehnya, seolah-olah ia minta didoakan.

Pengalaman kedua adalah tentang tetangga kami yang tinggal di kampung. Ia seorang pemuda masjid. Dalam artian, ia seorang yang sholeh. Waktunya sering dihabiskan di masjid. Sholat dan mengaji. Mendengarkan ceramah. Berdiskusi agama. Ia sendiri tak punya pekerjaan tetap. Sering datang ke rumah kami dan ikut bantu-bantu dengan imbalan ala kadarnya atau ikut makan siang dan malam. Anak-anak saya dekat dengannya. Ia termasuk orang yang sabar terhadap anak-anak. Sehingga ia disayangi oleh anak-anak dan ibu-ibu. Ia juga sering mengajari anak-anak mengaji dan belajar IQRA. Hingga di suatu pagi yang sepi. Tiba-tiba seseorang datang tergopoh-gopoh ke rumah kami dan memberitahukan kabar buruk itu. Pemuda itu ternyata menjadi korban tabrak lari. Ia ditabrak truk yang lari dengan kecepatan tinggi . Padahal daerah kami termasuk daerah ramai. Saya cukup sedih karena saya punya cita-cita baginya.. Saya ingin mengajaknya bekerja. Saya juga ingin memintanya mengajari anak2 saya mengaji. Tetapi semua harus pupus karena kehendakNya.

Kemudian kematian keponakan suami. Dalam keluarga anak ini dianggap nakal. Baru kelas satu SMP dan tinggal hanya dengan kakak tirinya. Kedua orang tuanya menetap di Sulawesi. Pada suatu pagi hari Minggu. Tanpa berpamitan, ia pergi dengan anak pak RT tetangga kami naik sepeda motor. Tak dinyana, nasib mereka naas. Sebuah angkot menabrak mereka juga dengan kecepatan kencang. Anak pak RT yang membawa motor, seketika meninggal di tempat. Sang keponakan berhasil diselamatkan. Tapi ia mesti bersabar hingga baru setahun kemudian dia bisa sembuh dari.patah kaki. Siapa nyana, ketika pulang sehabis bermain bola di rumah kami bersama anak-anak saya. Ia merasakan sakit kepala yang luar biasa dan langsung muntah-muntah tak berhenti. Ia pun dibawa ke rumah sakit. Namun rupanya setelah 3 hari nyawanya tak tertolong. Apa penyakitnya pun belum bisa terdeteksi. Ibu dan ayahnya tak sempat melihatnya. Saya sempat menungguinya, menghiburnya, mendoakannya dan menyaksikan ketika maut mendekatinya dan akan menjemputnya. Saya serasa ingin menariknya kembali pulang. Tapi tak kuasa. Hanya doa yang saya bisa ucapkan. Dan air mata saya pun terus mengalir ketika mendengar igauan-igauannya dan kerinduannya pada sang Ibu. Tanpa mampu menolongnya. Kita hanya bisa melihat. Kita hanya bisa menyaksikan. Kita hanya bisa terdiam. Sungguh, sekali lagi saya dipaksa berhadapan dengan takdir Allah dan harus menerimanya. Setelah kepergiannya, para tetangga menyampaikan berbagai cerita baik tentangnya yang membuat kami merasa bahwa memang inilah jalan terbaik baginya.

Bukan maksud saya menakut-nakuti atau membangga-banggakan diri. Saya yakin diantara teman-teman saya ada yang mempunyai pengalaman yang lebih luas dibanding saya. Saya hanya mau mengingatkan bahwa inilah kenyataan yang mesti kita hadapi, kita terima dan ikhlaskan. Ternyata kita memang fana dan tak berdaya.

Ada suatu pemahaman dalam diri saya, bahwa pada akhirnya kita memang akan pulang. Pulang ke rumah. Pulang ke sebenar-benarnya Rumah. “The Truly Home”. Kata pulang dan rumah pun sudah berkonotasi indah, tenang, nyaman dan damai. Ingatlah selalu bahwa kita tak bisa mendahului apa yang telah digariskanNya, siapa yang mendapat giliran lebih dulu, bagaimana caranya, kapan waktunya akan selalu menjadi rahasiaNya. Berusahalah kita sebaik-baiknya. Bersikap seolah-olah inilah kali terakhir kita bertemu dengan orang-orang terkasih kita. Sehingga kita menjaga sikap, menjaga perasaan, tidak menyakitinya dan selalu berusaha membahagiakannya. Anggaplah ini merupakan kali terakhir kita bertemu mereka. Sehingga kita akan berusaha melakukan yang terbaik yang bisa kita bagi kepada orang-orang yang kita sayangi. Siapa pun dia. Entah itu bagi suami atau istri, anak-anak, orang tua, saudara, maupun teman dan tetangga kita. Dan kenang-kenangan yang terindah dan terbaiklah yang akan tinggal. Bukan penyesalan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline