Lihat ke Halaman Asli

Berbesarhatilah Para Suami!

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa saat yang lalu Tabrani Yunis, aktivis di Aceh, seorang kawan di FB menulis pada statusnya: Perempuan memiliki potensi yang besar untuk menulis. Bukan hanya itu, begitu banyak persoalan perempuan yang juga bisa dituliskan. Namun mengapa masih sangat jarang perempuan menulis?


Memang katanya perempuan adalah mahluk istimewa. Banyak media yang mengulas tentang keistimewaannya dari A sampai Z. Banyak seminar diselenggarkan yang mengagungkan kepandaian para Perempuan. Banyak buku ditulis menceritakan tentang kehebatan perempuan. Banyak Talkshow yang menayangkan Inspiring Women, yang berprestasi di berbagai bidang. Perempuan menjadi buah bibir dimana-mana. Seolah-olah perempuan berprestasi adalah hal luar biasa. Padahal kalau kita pahami, bukankah sudah selayaknya perempuan pun berprestasi sama baiknya dengan para pria. Dalam hati sering timbul pertanyaan dan keheranan mengapa perempuan justru disanjung-sanjung. Berprestasi dan berkarya memang sudah semestinya kita lakukan sebagai manusia yang dianugerahi berbagai kelebihan oleh Tuhan. Sudah selayaknya lah kita memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dengan berbuat untuk kepentingan sesama. Bukan karena dia seorang perempuan, tapi karena dia seorang manusia. Bukannya saya sebagai kaum perempuan menampik segala sanjungan. Tapi sebetulnya apabila kita menerima bahwa manusia diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan tidak perlu kita ribut mempersoalkan bahwa jenis kelamin tertentu lebih unggul dari yang lainnya.

Memang lazimnya adalah sang perempuan yang bersangkutan yang telah bekerja keras dan berupaya tidak mengenal putus asa untuk terus berjuang dan berprestasi. Tanpa mereka berusaha tentu tidak akan muncul berbagai karya yang membanggakan. Akan tetapi, berapa banyak sih perempuan yang bisa begitu. Budaya patriarki yang kental menciptakan suasana yang sangat terasa bahwa hidup para perempuan ini didominasi para pria. Meskipun pintar, kreatif, cerdas, tapi tanpa ada kesempatan juga tetap tidak akan terangkat ke permukaan.

Padahal semua ini bermuara pada kesetimbangan hidup. Tuhan telah menciptakan segala sesuatunya dengan seimbang. Bila pada suatu hal ia lebih maka pada hal lain ia pasti kurang. Karena itu, jalan terbaik adalah bekerja sama dan saling memahami, serta dengarkan pendapat masing-masing.

Apabila di rumah, bergantianlah melakukan pekerjaan domestik. Karena rumah adalah milik bersama juga. Agar istri mendapat kesempatan mengembangkan diri, membaca, menulis, melakukan penelitian atau menjadi pembicara, berkarya menghasilkan sesuatu, berbisnis, atau menghasilkan karya seni. Dan tidak melulu otaknya dipenuhi oleh urusan domestik. Rumah tangga adalah milik bersama. Selayaknya dirawat bersama-sama. Mendidik anak-anak juga perlu dilakukan bersama-sama. Tanggung jawab merawat dan mendidik anak bukan berada hanya di pundak istri sebagai ibu. Tapi juga bersama-sama suami sebagai Bapak. Kalau berprofesi sebagai ibu rumah tangga bekerjasamalah agar ia bisa menjadi ibu rumah tangga yang memang betul-betul baik, sebagai menager rumah tangga, sebagai pendidik profesional, sebagai pengelola keuangan, sebagai decision maker rumah tangga.

Bila di tempat bekerja, atasan mesti menjamin bahwa ada peluang dan kesempatan yang sama bagi bawahan atau karyawan perempuannya, serta penghargaan yang sama berdasarkan kompetensinya dan juga kepercayaan. menjadi pemimpin. Rekan kerja pria tidak perlu takut disaingi bahwa rekan perempuannya ternyata lebih baik lebih tekun dan menghasilkan pekerjaan yang lebih baik. Sebaiknya saling menyemangati untuk berprestasi dan menghasilkan output terbaik. Dan tidak lagi saling memberikan stigma pada lawan jenis kita, dengan lebih rajin, lebih teliti, lebih logis dan lain-lain.

Yang sering saya pikirkan adalah mengapa pemahaman gender justru disebarluaskan hanya kepada perempuan dan anak-anak perempuan saja. Akan tetapi para lelaki tidak menerima perlakuan agar melek gender. Anak-anak lelaki juga perlu diberi pemahaman bahwa berlaku keras kepada anak perempuan tidak baik. Bahwa perempuan juga bisa menjadi mitra yang baik ketika bermain dan belajar bersama dalam kelompok belajar. Teman perempuan sebaiknya juga dihormati dihargai dan disayangi.

Dan berbesar hatilah para pria serta para suami dan bapak-bapak terutama bila mereka merasa tidak aman ketika nama mereka ternyata justru tenggelam di balik nama sang Istri. Ketika yang ditanyakan adalah sang istri dan bukan mana suaminya. Kemudian sama-sama kembangkanlah pemikiran dan aksi bersama yang kritis, tetapi sensitif gender

note: Lama sekali menulis ini, saya perlu satu minggu menyelesaikannya. Tadinya, menulis dalam rangka Hari Kartini. Tapi jadi terlambat. Selain itu, saya juga tidak PD lagi untuk mempublikasikannya. *curhat* :((




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline