Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 H baru saja beranjak beberapa hari dari almanak kaum muslimin di seluruh dunia. Begitupun dengan negara Indonesia tercinta. Akan tetapi suasana Idul Fitri belumlah beranjak sepenuhnya dari ingatan saya. Terlebih lagi saat jari jemari tangan ini mencoba merangkaikan kata demi kata masih dalam suasana libur cuti bersama. Rasanya seluruh hati dan jiwa belum move on dari segala bentuk serba serbi Idul Fitri ataupun berlebaran, separuh jiwa saya seakan masih berada di berbagai tempat yang telah dikunjungi saat Idul Fitri. Terutama kampung halaman yang selalu dirindukan.
Idul Fitri dengan selaksa warna, sejuta rasa melebur menjadi satu. Satu bulan melaksanakan ibadah puasa ramadhan, waktu begitu cepat berlalu. Hadir rasa bahagia dan rasa sedih yang berkecamuk dalam diri. Bahagia tentulah sangat dirasakan dengan segala kesyukuran yang dipanjatkan ke hadirat Illahi Rabbi dipertemukan dengan hari kemenangan. Dipertemukan dengan sanak saudara dimanapun berada, masih diberikan kesempatan berada di tengah-tengah keluarga besar dengan saling mema’afkan, melebur segala salah dan khilaf yang ada. Dan bahagia-bahagia lain yang membersamai perayaan Hari Raya Idul Fitri tahun ini.
Lalu mengapa terbersit rasa sedih yang menyelimuti? Sebagaimana diketahui, ulan Ramadhan terjadi satu tahun sekali. Bulan yang memiliki banyak keistimewaan, bulan penuh rahmat, penuh ampunan dan bertaburan nilai-nilai kebaikan yang pahalnya Allah SWT lipatgandakan. Masya Allah… . Dengan tibanya ramadhan di penghujung bulan, pada hari-hari terakhir, terkhusus sepuluh hari terakhir umat muslim berlomba-lomba berburu malam lailatul qadar. Ketika detik-detik akhir ramadhan itu tiba, desiran rasa haru, rasa sedih hadir dalam hati. Ramadhan, bulan yang seantiasa dirindukan akan segera pergi. Hanya setangkup harapan yang terkemas dalam do’a, semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mempertemukan kembali pada ramadhan tahun mendatang dalam keadaan diri yang lebih baik lagi. Aamiin.
Perayaan Idul Fitri tidaklah hanya sekedar melaksanakan mudik ke kampung halaman hingga rela bermacet-macetan di jalan tol sekalipun agar bisa sungkem kepada orangtua, bisa bersalam-salaman untuk saling mema’afkan dengan saudara, tidak hanya sekedar berbagi atau bersedekah bagi orang yang diberikan kemampuan dan keluasan rezeki. Bukan pula sekedar berbagi-bagi THR bagi famili, sanak saudara ataupun kepada sesama, makan bersama keluarga besar yang berkesempatan mudik ataupun berkumpul, dan lain sebagainya yang menjadi pernak pernik lebaran.
Dari sekian warna Idul Fitri, ada satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan saat Idul Fitri adalah ziarah kubur. Ziarah kubur yang dilakukan umat muslim di suasana hari raya Idul Fitri. Sudah dipastikan area pemakaman di setiap daerah, baik di kota maupun di desa akan penuh dengan para peziarah. Lokasi pemakaman yang biasa sepi, sunyi dalam kesehariannya, tiba-tiba menjadi ramai di saat hari lebaran tiba. Bahkan lokasi pemakaman yang ada di daerah perkotaan ketika saya turut serta berziarah, tak ada bedanya seperti keadaan di pasar. Keadaan di lokasi pemakaman sangat ramai oleh para penjual makanan, mainan anak-anak, dan lalu lalang parkir kendaraan motor dan mobil. Keadaan seperti itu, sesaat bisa menghilangkan suasana pemakaman yang sering diketahui sepi dan sunyi, bahkan ada beberapa tempat yang terkesan angker.
Ziarah kubur, tidaklah hanya sekedar datang beramai-ramai satu keluarga besar dengan membawa bunga-bunga dan air mawar. Ada hikmah terdalam yang mampu diambil dari pelaksanaan ziarah kubur itu. Bahkan titik-titik airmata seringkali jatuh berhamburan saat ziarah kubur. Setidaknya itulah yang seringkali saya rasakan saat momen ziarah kubur. Terlebih tahun ini adalah tahun pertama saya berziarah kubur di makam almarhum ayah tercinta.
Makna dari ziarah kubur itu adalah lebih kepada perenungan diri. Selain tentunya dengan memperhatikan adab ziarah kubur. Ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari ziarah kubur. Pertama, mendo’akan segala kebaikan untuk orang tua, sanak saudara yang sudah tiada. Kedua, sebagai sarana untuk muhasabah diri bahwa sesungguhnya saya dan semua peziarah juga sedang menunggu giliran. Karena kematian itu pasti akan datang, hanya masalah waktu yang menjadi ketetapan Allah Yang Maha Berkehendak, yang kita wajib mengimaninya.
Lantas apa yang didapat dari muhasabah/perenungan diri lainnya ketika berziarah kubur? Berbagai tanya pula untuk menjawabnya. Seberapa banyak bekal yang sudah dipersiapkan ketika tiba giliran dipanggil ke hadapan-Nya. Mampukah mengisi hari-hari berikutnya yang masih diberikan kesempatan bernafas, menghirup nikmatnya udara untuk diisi dengan berbagai amalan kebaikan. Karena ketika kematian datang, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri. Wallahu’alam.
Itulah sekelumit hikmah ziarah kubur pada saat Hari Idul Fitri yang mampu saya tuliskan. Semoga bermanfaat.