Lihat ke Halaman Asli

Penantian Siswaku

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Guru, digugu dan ditiru terutama oleh siswa. Tugas ku sebagai guru  di daerah terpencil tidak hanya sebagai penyampai materi pembelajaran, khususnya matematika, tetapi aku berusaha menjadi seorang motivator  kepada siswa-siswa ku. Di tempat ku bertugas, SMAN 1 Penukal Utara, sebagian besar mata pencaharian penduduk sebagai petani karet, dan sebagian besar siswa-siswa ku turut membantu ortu mereka, saat sebelum pergi sekolah, ada juga yang sepulang sekolah, namun sayang tidak banyak dari keluarga mereka yang menempuh pendidikan tinggi, apalagi latar belakang pendidikan ortunya.

Sebagai motivator, aku senantiasa memotivasi mereka untuk dapat sekolah tinggi, ya..minimal di atas ortu mereka. Aku pun menceritakan pengalamanku sampai akhirnya aku bisa kuliah dan bekerja di sana, yang pada intinya q ceritakan bahwa aku pun bukanlah berasal dari keluarga yang mampu, tapi bermodalkan semangat dan kerja keras aku berusaha mencapai impianku. Untuk menjadi orang yang sukses, tidak memandang asal-usulnya, desa atau kota sama saja, buktinya saja kalau mereka melihat lowongan kerja di koran, belum pernah ada lowongan: dibutuhkan orang kota, ataupun dibutuhkan orang desa. Para siswa tertawa saat ku berkata demikian. Namun, kutahu di balik tawanya, mereka memahami maksudku.

Sampai akhirnya ada siswa yang menemui ku di kantor, dan bilang mau kuliah. Siswa itu kuajak belajar di rumah, mempersiapkan diri untuk ikut tes negeri. Orang tuanya mempunyai harapan yang besar agar anaknya dapat lanjut studi, tapi aku tak bisa memberikan jaminan apa-apa, aku hanya bisa membantunya dalam mempersiapkan diri, juga dalam pendaftarannya nanti. Hasil akhirny aku tak berani menjaminkan apa-apa. Sampai akhirnya dia ikut tes tahun 2012, dan dia tidak lulus. Aku sedih dengan ketidaklulusannya, dan dia lebih sedih lagi. Tapi aku terus memotivasinya agar tidak putus asa, dia masih punya kesempatan. Dia sampaikan kepadaku, kalau dia mau ambil swasta, atau program diploma swasta semacam komputer, tapi aku tidak mendukungnya, dikarenakan aalasan ekonomi keluarganya. Aku tidak mau dia memaksakan ekonomi hanya karena untuk kuliah. Lalu aku bilang kalau mau di swasta begitu, silakan saja urus sendiri, lebih baik dia pulang ke dusun membantu ortu di kebun, sambil kumpulkan uang untu kuliah.Selama aku masih ngajar di dusun itu, dia masih bisa belajar dengan ku mempersiapkan diri untuk tes di tahun berikutnya.  Ahirnya dia mengikuti saranku. Tak terasa 1 tahun berlalu, selama itu  pula dia mempersiapkan diri, dia pun ke rumah untuk belajar denganku. Dari siswa-siswa ku yang suka belajar di rumah, sering bercerita kalau dia sering belajar di masjid. Tidur di masjid hanya sebentar, habis itu dia buka bukunya untuk belajar.Buku SPMB dan tes potensi akademik yang dimilikinya, dipelajari olehnya, dan saat belajar di rumah, dia menanyakan padaku soal-soal yang tak dapat dia kerjakan.

Waktu yang dinanti, yakni pendaftaran untuk masuk negeri pun mulai dibuka, dia sudah mantap dengan pilihannya. Di tahun 2013 ini program DIII buka tes duluan dibanding S1, terpaksa dia pun ikut daftar yang program DIII. Biasanya program DIII baru di buka setelah tes untuk program S1, jadinya sebagai alternatif apabila tidak lulus yang S1 akan ambil yang DIII. Namun sayangnya di tahun ini DIII yang buka duluan, dan tes nya sebelum tes yang S1. Akhirnya dia daftar DIII dan juga yang S1.

Setelah mengikuti tes DIII, sepertinya tak sulit baginya mengerjakan soal yang ada, terlihat dari jawaban yang dikeluarkannya saat kutanya bagaimana tes yang sudah dilaluinya. Aku senang mendengarnya. Beberapa hari kemudian, hasil tes keluar, langsung ku cek di internet hasilnya, dal ternyata dia lulus. Ku telepon dia, tapi dia sedang keluar cari koran, belum sempat dia baca koran itu, lewat telepon kutanyakan bagaimana hasilnya, coba lihat di koran yang dia beli. Dia meminta temannya untuk melihatnya, tapi kata temannya belum ketemu. Terdengar gugup dan nada kecewanya di telepon, sampai akhirnya ku sampaikan kalau dia lulus. Dia sangat bahagia, lalu sebelum penutupan registrasi yang waktunya hanya 3 hari, dia selesaikan bersama keluarganya. Tes yang S1 tidak lagi diikutinya, dikarenakan sejumlah uang yang cukup besar untuk biaya registrasi ulang sudah dipenuhinya.  Tapi walaupun dia kuliah DIII, bukanlah masalah, yang penting dia dapat di universitas negeri yang kualitas lulusannya memang diakui. Perjuangannya selama 1 tahun ini sungguh membuahkan hasil. Sebagai gurunya, aku salut dengan perjuangannya, dan meski kini ku tidak bertugas di SMAN 1 Penukal Utara lagi, tapi dari kisahnya telah memberiku semangat untuk terus mendidik.

Novi Komariyatiningsih, M.Pd., SMAN 2 Lubay

Tugas 2., No Urut 116, Angkatan 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline