Lihat ke Halaman Asli

Nostalgia Politik Golkar

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Piye kabare? Jik penak jamanku to?

Tak ada yang lebih menyenangkan dari membayangkan masa-masa lalu yang indah. Mungkin anda pernah mengalaminya juga. Duduk sendiri lalu membayangkan masa ketika SMA dulu. Mengingat kembali peristiwa-peristiwa lucu, menyenangkan dan gokil. Ketika anda pertama kali jatuh cinta pada gadis idaman. Mencuri-curi pandang saat apel pagi. Saling melempar senyum ketika berpapasan. Atau hal-hal menyenangkan lainnya. Kadang mengingat hal seperti itu membuat kita tersenyum, aah.... andai waktu itu bisa kembali lagi...!

Ketika harus mengingat beberapa peristiwa seperti keseringan membolos saat pelajaran Bahasa Inggris sehingga sekarang tidak bisa membaca majalah Time, anda akan bilang aaah... seandainya dulu saya tidak sering membolos...!

Masa lalu seolah lumpur. Padat namun mudah melebur sekali hentakan. Berbagai hal bermunculan. Peristiwa dan orang-orang yang menjadi bagian didalamnya. Tapi apapun itu, tak lebih dari nostalgia. Kalaupun dipikirkan, tak lebih dari berandai-andai. Waktu adalah hal yang tak pernah kembali ke asalnya. Bergerak terus-menerus. Meninggalkan kesan dan mengukir memori.

Mendekati pemilu, nostalgia politik Indonesia kembali didengungkan. Rakyat digiring untuk mengingat-ingat kenangan manis ketika Soeharto dan Orde Baru berkuasa. Nostalgia itu dikontraskan dengan kondisi saat ini, dimana publik tampak kecewa dengan kepemimpinan nasional. Perbandingan diajukan; Soeharto vs SBY, mana yang lebih baik?

Kalimat Jawa pada pembuka tulisan ini, sering saya dapati; dipajang di profil picture BBM beberapa kawan. Beberapa saat belakangan, muncul kaos dengan istilah demikian. Spekulasi pun bermunculan, rakyat rindu pada sosok Soeharto dan kepemimpinannya. Gayung pun bersambut. Calon presiden dari partai Golkar, ARB, berujar “Rakyat rindu Golkar dan Pak Harto” (baca disini). Bahkan, konsep dan spirit Soeharto akan digunakan oleh ARB dalam pencalonannya (baca disini).

Apa tanggapan anda? Bagi saya, ini menyedihkan juga menakutkan setelah kita tahun ganasnya zaman otoriter itu. Mengadopsi justru menimbulkan keraguan, mungkin juga kecurigaan. Apakah golkar hendak mengulangi masa emasnya itu?

Kembali pada masa lalu adalah tindakan bodoh yang mustahil terjadi. Yang bijak adalah belajar dari masa lalu untuk menatap masa depan. Tak mungkin kondisi masa lalu sama dengan kondisi saat ini. Meskipun dunia fashion dan musik sering merecycle busana dan musik lawas, politik adalah pengecualiannya. Tak mungkin ide, gagasan dan cara-cara orde baru relevan dengan abad 21 ini, ketika orang lantang berteriak demokrasi, otonomi daerah dan kebebasan berpendapat. Soeharto dan orde baru adalah bagian dari masa lalu Indonesia. Sejarah yang terukir dalam kitab hidup bangsa Indonesia, entah dengan tinta emas atau merah.

Ide membawa Indonesia ke masa orde baru adalah langkah mundur yang tak bijak. Apalagi jika itu dicetuskan oleh seorang sekelas ARB dan partai sekelas Golkar. Kita tahu, orde baru adalah masa keemasan Golkar. Publik pun tak menampik ada hal baik yang diberikan, lepas dari berbagai peristiwa yang tak mengenakan. Namun apakah kebutuhan Indonesia saat ini bisa dijawab dengan gagasan Soeharto dan Orde Baru?

Banyak variabel penting yang telah berubah. Kondisi sosial dan ekonomi telah bergerak jauh.Tak salah jika ARB dan Golkar ingin menghidupkan kembali gagasan Soeharto dan orde baru. Tapi apakah betul rakyat menginginkan kembali zaman orde baru atau – jangan-jangan – ARB dan Golkar terlalu serius menanggapi gambar lucu yang beredar di BBM dan media sosial lainnya. Mudah-mudahan tidak, tetapi jika benar demikian, apalah artinya seorang pemimpin jika tak mampu menghasilkan ide yang orisinil.

Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Itulah jawaban yang pas untuk kalimat pembuka tulisan ini.

Novie SR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline