Lihat ke Halaman Asli

Narsisme Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR

Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili

Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari Sabang sampai Merauke

Saudara dipilih bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha......

Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju.....

(Surat Buat Wakil Rakyat – Iwan Fals)

***

Pemilu tinggal beberapa saat lagi. Kampanye para calon legislatif sudah dimulai. Rakyat kedatangan banyak tamu. Ada yang tampak asing, dan ada pula yang sudah akrab. Di jalanan, tak kalah hebohnya. Pohon-pohon berbuah poster. Ada berbagai jenis baliho, yang ukurannya kecil sampai super besar membentang membelah jalanan. Ada rupa-rupa manusia yang bisa dilihat di jalanan atau tembok-tembok. Ada yang senyum. Ada yang tampak berwibawa. Macam-macam pose-nya; ada yang menyamping dan mengancungkan jempol atau menunjuk, ada juga yang berdiri menatap lurus ke depan.

Yang menarik adalah slogan-slogan yang ada pada poster itu. Saya tidak menghitung persis, tapi ada beberapa kata atau frasa yang paling sering ditemui; JUJUR, BERSIH, BERANI, TERUJI, DEKAT DENGAN RAKYAT, dll. Kata-kata ini sering nangkring disamping foto dalam poster-poster itu. Kata-kata itu menerangkan sosok yang dimaksud; bahwa orang dalam poster ini jujur, bersih, berani dll.

Membaca kata-kata itu dijalanan membuat saya harus tepok jidat. Dari mana penilaian seperti itu mereka dapatkan? Bukankah jujur, bersih, berani dan teruji adalah hasil dari sebuah penilaian selama selang waktu tertentu. Penilaian atas perilaku; bahwa seseorang dikatakan jujur apabila (1) lurus hati, tidak berbohong; (2) tidak curang; tulus ikhlas.Namun siapakah yang bisa memastikan bahwa slogan jujur di dalam poster itu bukanlah suatu kebohongan? Tampaknya, tujuan menghalalkan cara. Berbagai cara dibuat agar menarik simpati rakyat. Termasuk narsis dengan slogan-slogan yang sulit dibuktikan.

Jikapun ada, sedikit sekali calon yang memaparkan visi partainya, karena mereka direkrut oleh partai. Seharusnya ini yang harus ditonjolkan. Rakyat dididik untuk mengenali visi calon dan partai. Paling tidak, tampilan-tampilan semacam ini mengajak rakyat untuk menggunakan hak pilih dengan cerdas. Pilihan dibuat bukan atas dasar popularitas, tapi pada visi dan ideologi politik calon dan partai.

Kita sering menyaksikan banyak anggota DPR yang bolos tidak mengikuti rapat-rapat yang membahas nasib rakyat. Ada pula tidur ketika sidang dan hanya mampu bilang “setuju”. Ada pula yang sibuk dengan gadget barunya, sambil lirik bokep. Atau ada yang sibuk bikin lobi sana-sini untuk mengeruk uang rakyat. Banyak sekali fakta tentang perilaku anggota legislatif yang membuat miris, meskipun ada pula yang benar-benar serius memperjuangkan hak-hak rakyat.

Sistem politik Indonesia memang membuka peluang bagi calon-calon anggota legislatif untuk melakukan kampanye secara pribadi. Yang mendapat suara terbanyaklah yang akan duduk sebagai legislator. Padahal ketika berada di parlemen, mereka akan lebih banyak taat pada aturan dan kebijakan partai. Yang tidak sesuai dengan kebijakan partai akan di-recall . Rakyat yang sudah memilih tidak lagi punya hak menarik dukungan, padahal rakyat tidak tahu persis program dan ideologi partai.

Tanyakan saja pada masyarakat seberapa kenal mereka pada partai-partai yang ada saat ini; apa ideologi partai-partai saat ini, apalagi program kerja partai. Tak ada pamflet, stiker atau baliho tentang ideologi dan program kerja partai. Sepertinya, politik kita kehilangan konsepsi. Yang dijual kepada rakyat bukanlah konsep-konsep politik, ekonomi, hukum dan sosial. Yang dijual kepada rakyat adalah calon-calon legislator yang mengidap narsisme akut, yang lebih suka memajang slogan kosong tanpa konsepsi. Lalu apakah ini kita sebut sebagai pendidikan politik yang dibutuhkan dalam demokrasi Indonesia?

Di satu sisi, rakyat disarankan untuk harus menggunakan hak pilih; konon, golput itu haram. Disisi yang lain, rakyat tidak diberikan pendidikan politik yang baik. Alih-alih partai menyuguhkan calon legislator dan program kerja yang konkrit, yang ada hanya eksploitasi suara rakyat. Ini terbukti, partai merekrut artis yang diketahui memiliki popularitas tinggi. Harapannya tentu saja yang dikenal yang akan dipilih. Suara rakyat dieksploitasi. Apapun caranya, kekuasaan harus direbut. Tampuk kepemimpinan harus diraih.

Mungkin kita harus ekstra hati-hati, narsisme politik kian akut. Gunakanlah hak pilih dengan cerdas, jika anda tidak berniat golput.

Novie SR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline