Oleh Novi Dini Aldiani
Siapa yang tak tahu dengan Korea Selatan? Pasti semua orang sudah tahu betul dengan negara yang dijuluki sebagai negeri Gingseng ini. Ya, negara yang terkenal dengan musiknya atau yang dikenal dengan istilah K-Pop dan juga terkenal dengan dramanya atau K-Drama, bahkan anak-anak gaul sekarang menyebutnya dengan drakor. Saat ini Korea Selatan menjadi salah satu negara yang booming dengan karya sastra populernya dan hal tersebut menyebabkan karya sastra elit Korea Selatan menjadi terpinggirkan. Namun, di balik semua itu masih terdapat sastrawan yang tetap memperjuangkan sastra elit khususnya dalam bentuk puisi. Dia adalah Moon Changgil, seorang sastrawan yang ingin terus melestarikan sastra elit dan menghidupkan ruh kepedulian terhadap keadaan sosial-politik di Korea Selatan.
Moon Changgil adalah seorang penyair kelahiran Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Moon dapat dikategorikan sebagai penyair angkatan 80-an karena beliau mulai menulis puisi pada tahun 1984 melalui antologi Puisi Dure (Duresi Dongin). Pada saat itu juga Moon bergabung dengan Komunitas Sastra Buruh Guro dan pada tahun 1984 sampai 1990 Moon masuk dibagian Sastra Persatuan Pemuda Perusahaan Demokratisasi. Dua karya luar biasa Moon Changgil berhasil mendapatkan dana bantuan, yakni pada antologi puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api mendapatkan dana kreasi karya Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenia Korea pada tahun 2001 dan antologi puisi Amanat Kemerdekaan Negara Utara yang menerima dana bantuan dari Yayasan Kebudayaan Kyonggi pada tahun 2019. Selain aktif menulis, Moon juga aktif dibeberapa organisasi sastra di Korea, seperti Moon memimpin kelompok Changjak21, mengelola majalah sastra Changjak21, bergabung dalam Konferensi Pengarang Korea, Perhimpunan Penyair Korea, Persatuan Pengarang Bangsa Korea, Lembaga Riset Kesusastraan Bangsa, Perhimpunan Pengarang Goyang, dan Solidaritas Sosial Masyarakat Demokrasi Goyang. (Aisyah, 2021: 114)
Buku antologi puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api yang ditulis oleh Moon Changgil diterjemahkan oleh dua orang hebat yang juga sama-sama mendalami dunia kesusastraan. Kedua penerjemah tersebut adalah Kim Young Soo seorang laki-laki berdarah Korea dan Nenden Lilis Aisyah seorang perempuan cantik asal Indonesia yang berdarah Sunda. Kim Young Soo lahir di Seoul, Korea Selatan. Beliau menyelesaikan studinya di Hankuk University of Foreign Studies. S1 dengan Jurusan Bahasa Malay-Indonesia, S2 Program Studi Kesusastraan Modern Indonesia, dan S3 Jurusan Sastra Bandingan. Kim Young Soo juga aktif menulis, beberapa tulisannya adalah The Haecho's Journey: A Monk of Shilla's Kingdom Korea to Sriwijaya Kingdom dan Indonesia Language Practice. Selain menulis Kim Young Soo juga berhasil menerjamahkan sejumlah buku dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia dan begitu pun sebaliknya. Berikut ini adalan beberapa buku yang telah diterjemahkan oleh Kim Young Soo, Orang Suci, Pohon Kelapa karya Choi Jun, dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer. Kim Young Soo juga pernah memegang jabatan Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun, dan kini berpuisi sebagai anggota Changjak21.
Sementara Penerjemah cantik asal Indonesia berdarah Sunda, Nenden Lilis Aisyah lahir di Garut, Jawa Barat, Indonesia. Beliau banyak menulis sajak, cerpen, dan esai yang dimuat diberbagai media massa nasional dan internasional. Selain sebagai seorang penulis beliau juga adalah seorang dosen yang selalu membagikan ilmu-ilmunya kepada mahasiswa dan mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia. Beberapa karyanya dimuat di berbagai antologi kanon sastra Indonesia. Selama mendalami dunia sastra beliau telah meraih beberapa penghargaan, seperti penghargaan dari Pusat Bahasa 2005 untuk kumpulan cerpen Ruang Belakang. Terdapat beberapa karya beliau seperti kumpulan sajak tunggalnya Negeri Sihir dan cerpen yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Mandarin. Selain itu beliau juga sering diundang untuk membacakan karya-karyanya atau sebagai pembicara dalam event sastra, seperti pada workshop cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara, Festival de Winternachten di Den Haag Belanda, pembacaan sajak dan diskusi di KBRI dan INALCO Paris (Prancis), Festival Puisi Internasional Indonesiadi Teater Utan Kayu Jakarta, Festival Puisi Internasional Indonesia, Diskusi dan Pembacaan Puisi di Yayasan Kesenian Perak Ipoh Malaysia, Seminar di IPG Malaysia, The 3rd Schamrock Festival of Women Poets di Jerman, dan lain-lain. Selain sebagai seorang penulis, beliau juga berhasil menerjemahkan beberapa karya sastra negara lain, seperti Antologi Puisi dan Prosa Langit, Angin, Bintang, dan Puisi karya penyair Korea Yun Dong Ju yang berhasil diterjemahkan bersama Prof. Shin Young Duk, PhD. Saat ini beliau telah mengeluarkan antologi terbaru dengan judul Maskumambang Buat Ibu. (Aisyah, 2021: 115-116)
Penerjemahan karya sastra merupakan salah satu gerbang masuk untuk saling mengenalkan kebudayaan satu dengan yang lainnya. Namun, menerjemahkan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Bahkan seorang pakar asal Rusia, Mikhail Rusnitzky menganalogikan proses penerjemahan seperti seserorang yang harus membangun rumah di negara lain, sementara di negaranya sendiri tidak ada rumah dengan arsitektur seperti itu, bahkan seluruh kondisi alamnya pun sangat berbeda. Menurut Alfons ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang penerjemah, seperti situasi sosial ekonomi, akses terhadap referensi, dan penghargaan orang terhadap penerjemah dan hasil karya. Kualitas dari karya yang diterjemakan menjadi tanggung jawab seorang penerjemah, karena seorang penerjemah harus memindahkan bahasa tertentu ke bahasa sasaran dan terkadang bahasa tersebut kurang mereka kuasai, selain itu bahasa ungkapan-ungkapan khas dan latar belakang suatu karya yang berkaitan dengan kondisi sejarah, sosiologi, dan budaya. Salah satu contoh penerjemahan yang dilakukan adalah menerjemahkan karya sastra Korea ke dalam bahasa Indonesia (Herman, 2019). Hingga pada tahun 2003 didirikan KLTI yang pendanaannya didukung oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Korea. Tujuan didirikannya KLTI adalah untuk mempromosikan dan menyebarkan karya-karya sastra Korea ke seluruh dunia. Salah satu upayanya adalah dengan menerjemahkan karya-karya korea ke berbagai bahasa lain, di antarnya ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh ini telah terbit kurang lebih dua buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hasil dari program KLTI antara lain kumpulan cerita pendek Laut dan Kupu-kupu yang diterjemahkan oleh Koh Young Hun dan Tommy Christomy, dan kumpulan sajak Puisi buat Rakyat Indonesia yang diterjemahkan oleh Chung Young Rim (Hari, 2009). Seiring dengan berjalannya waktu karya sastra Korea semakin banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti New York Bakery, Pasukan Buzzer, Shine, Every Day is A Sunny Day When I Am With You, Fish in The Water, Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982, Saha Mansion, Her Name Is..., Catatan Harian Sang Pembunuh (Diary Of A Murderer), Bone, I'll Go To When the Weather is Nice, Ibu Tecinta, dan lain-lain. Selain novel terdapat juga antologi puisi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Langit, Angin, Bintang dan Puisi, Pesan Sang Mentari, Orang Suci Pohon Kelapa, dan salah satunya adalah Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil yang diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis A.
Antologi Puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api tersebut memuat 58 puisi yang terbagi menjadi 4 rangkuman. Setiap rangkuman memiliki tema yang berbeda. Rangkuman pertama menceritakan tentang nasib masyarakat sebagai pekerja kecil seperti seorang buruh bangunan, pekerja kasar harian, petani kecil, nelayan, dan sebagainya. Dalam rangkuman pertama puisi-puisi yang ditulis oleh Moon Changgil merupakan sebuah kritik terhadap kondisi sosial-politik di Korea Selatan. Rangkuman kedua bertema tentang unifikasi atau persatuan Korea. Mengingat sebagai akibat dari adanya perang dingin menyebabkan Korea terbagi menjadi dua, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Belum sempat menikmati kemerdekaannya dua negara adidaya Amerika Serikat dan Uni Soviet mendarat di Semenanjung, karena sebelumnya mereka telah membuat persetujuan berkaitan dengan pembagian Semenanjung tersebut. Hingga akhirnya Korea Selatan dikuasai oleh Amerika Serikat yang ideologinya lebih condong pada demokrasi-kapitalis. Sedangkang Korea Utara dikuasai oleh Uni Soviet yang ideologinya condong pada ideologi komunis. Sementara itu rangkuman ketiga dan keempat menggambarkan kehidupan secara individu atau personal. Persoalan yang diangkat menyangkut berbagai aspek kehidupan, seperti agama, norma hidup, keindahan alam,cinta, dan lain-lain. Pusi-puisi yang ditulis pada rangkuman ketiga dan keempat banyak menggunakan nuansa imajis.
Puisi yang dimuat dalam antologi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil hampir 90% bertemakan sosial-politik. Hal tersebut dikarenakan latar belakang penulis yang peduli dengan keadaan sosial-politik di Korea Selatan. Moon ingin menyuarakan dan memperlihatkan fakta yang sebenarnya terjadi dibalik kegemerlapan kehidupan Korea Selatan yang selama ini orang-orang lihat. Di balik merebaknya demam K-Pop dan K-Drama yang menyebabkan orang-orang memandang Korea Selatan adalah negara yang makmur, mewah, dan sejahtera, namun ternyata tidak sedikit penduduk Korea Selatan hidup dalam kesengsaraan yang hanya bernasib sebagai pekerja kasar seperti seorang nelayan, buruh bangunan, pekerja kasar harian, petani, dan lain-lain. Moon selalu mengajak masyarakat Korea Selatan khususnya untuk terus membuat perubahan kearah yang lebih baik dan antologi puisi ini adalah salah satu cara yang dapat dilakukan oleh Moon Changgil untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Moon menjadikan pena sebagai senjata untuk membantunya dalam berjuang mendirikan sistem kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat Korea Selatan. Puisi-puisi tersebut merepresentasikan berbagai permasalah sosial yang tejadi di Korea Selatan di antaranya adalah kemiskinan, hak asasi manusia, dan perpecahan yang terjadi antara Korea Selatan dan Korea Utara. Seperti dilihat dari salah satu puisi yang berjudul "Wanita Dari Ahnyang" bagaimana kehidupan seorang penjual ikan yang harus berjuang mengumpulkan pundi-pundi uang demi menyekolahkan anak laki-lakinya dan membelikan anak perempuannya piano. Sementara itu representasi perjuangan warga Korea Selatan yang harus berjuang untuk hidupnya juga terdapat dalam puisi yang berjudul "Pemandangan Gedung Koperasi Kredit". Di dalam puisi tersebut digambarkan kehidupan tukang sampah yang menarik gerobaknya, seorang anak yang harus bekerja dengan menyebarkan selembaran surat kabar, dan seorang kakek pemilik toko yang harus membuka tokonya lebih pagi. Tapi semua itu mereka kerjakan dengan penuh kesabaran dan semangat, mereka juga seperti saling memberi semangat dengan sapaan yang dilontarkan setiap pagi.
Harapan adanya persatuan dan kesatuan antara Korea Selatan dan Korea Utara juga disampaikan oleh Moon dalam puisi-puisinya yang terdapat dalam rangkuman kedua. Bila dilihat, saat ini Korea memang terbagi menjadi dua, yakni Korea Selatan dan Korea Utara. Perpecahan Korea ini berawal dari kalahnya Jepang pada tahun 1945. Saat itu Amerika Serikat dan Uni Soviet menduduki Semenanjung Korea dengan tujuan untuk negara perwalin dan mempersiapkan kemerdekaan untuk negara tersebut. Amerika Srikat menduduki Semenanjung bagian Selatan, dan Uni Soviet menduduki Semenanjung bagian Utara. Di Selatan, Amerika mendirikan pemerintah militer. Sedangkan di Utara Uni Soviet membangun negara Komunis. Perselisihan kedua negara adidaya tersebut menyebabkan terjadiya perang saudara yakni antara Korea Selatan dan Korea Utara. Kekacauan itu terjadi hingga saat ini dan hal tersebut terbukti dengan terbaginya Korea menjadi dua bagian, yakni Korea Selatan dan Korea Utara (Aisyah, 2021: 108).
Moon Changgil adalah seorang sastrawan sekaligus pencipta perubahan yang menyampaikan aspirasi-aspirasinya melalui tulisan. Tulisan yang Moon ciptakan benar-benar sampai ke dalam hati pembaca. Kemampuan Moon Changgil menggambarkan keadaan dalam bentuk kata-kata sangat berhasil dan sukses sehingga pembaca dapat dengan mudah berimajinasi dan membayangkan apa yang disampaikan oleh Moon dalam tulisannya karena puisi yang ditulis oleh Moon Changgil didominasi oleh suasana imajis. Pemilihan diksi yang lugas dan tegas dapat membangkitkan semangat pembaca khususnya Bangsa Korea Selatan untuk terus menyuarakan keadilan, hak asasi, persatuan dan kesatuan. Tak hanya masyarakat Korea Selatan yang dapat menikmati karya-karya Moon Changgil, kini masyarakat Indonesia juga sudah dapat menikmati karya-karya beliau karena antologi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis A. Tak kalah indah dari karya asli, karya hasil terjemahan juga sangat indah dan menyentuh. Menerjemahkan bukanlah hal yang mudah, namun kedua penerjemah tersebut berhasil menerjemahkan karya Moon Changgil tanpa menghilangkan makna asli dari karya tersebut. Pembagian kumpulan puisi menjadi empat rangkuman dan berdasarkan tema dapat memudahkan pembaca dalam menikmati dan memahami puisi-puisi tersebut. cover buku sangat aesthetik dan tidak terlalu color full sehingga sangat relevan dengan isinya.
Antologi Apa yang Diharapkan Rel Kerata Api menjadi sebuah ajakan yang digaungkan oleh Moon Changgil. Beliau mengeluarkan senjatanya kemudian menorehkannya di atas kertas mengajak seluruh penduduk Korea Selatan agar lebih membuka mata dan peduli terhadap kondisi sosial-politik di Korea Selatan. Selain itu Moon Changgil juga ingin terus melestarikan sastra elit yang hari ini mulai terlupakan dan kalah oleh sastra populer. Buku ini sangat cocok bagi seluruh kalangan masyarakat, khususnya bagi orang-orang yang menekuni dan menikmati kesusastraan baik kesustraan Indonesia atau pun kesusastraan Korea.