Lihat ke Halaman Asli

Kisah dari Kampung yang Memikat, Melihat Kerja Ekranisasi di Tangan Masyarakat Desa

Diperbarui: 14 Januari 2022   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

KISAH DARI KAMPUNG YANG MEMIKAT,

Melihat Kerja Ekranisasi di Tangan Masyarkat Desa

Oleh Kiki Amelia

Sekali waktu saya pernah menonton chanel Youtube yang membahas prihal ekranisasi karya sastra ke dalam sebuah film. Dalam video, dia menyinggung kutipan dari Linda Hutcheon seorang kritikus sastra dari Universitas Tronto, Kanada. Hutcheon mengatakan bahwa "Adaption as repetition, but repetition without replication" (7). Dari sana saya menangkap bahwa  sebuah karya sastra hasil dari ekranisasi atau adaptasi bisa berdiri sebagai sebuah karya seni baru. Karya tersebut juga akan memiliki karakter independen yang lebih fresh juga menarik dalam hal tertentu. Meskipun sebuah karya hasil adaptasi dapat berdiri sendiri sebagai sebuah karya baru, kenyataan bahwa karya tersebut tetap tidak terlepas dari unsur yang familiar dengan karya sebelumnya. Begitulah cara saya memandang film pendek dari Jamuga Cinema yang berjudul Alak Paul sekitar seminggu yang lalu. Saya melihat ada usaha masyarakat memproduksi sesuatu yang kreatif  dan inovatif dengan catatan; masih mempertahankan lokalitas tapi disajikan dengan media yang lebih kekinian.

Berbicara mengenai ekranisasi dalam karya yang diproduksi Jamuga Cinema dengan judul Alak Paul, kita tidak akan pernah selesai dan terus berdebat membicarakan hal teknis. Seperti bagaimana kamera tidak fokus ketika mengshot adegan, pengambilan angle kamera yang tidak sesuai dan kadang bergoyang, serta pencahayaan yang membuat  penontonnya merasa sedikit terganggu. Namun ketika diketahui bahwa proses pengambilan film menggunakan kamrea hp China, hasil jedag-jedug yang saya sebutkan di atas menjadi hal yang diwajarkan dan sebetulnya patut diapresiasi. Kegigihan dalam menciptakan film menggunakan Handphone di tangan masyarakat desa bukan hal yang mudah, tapi perlu kemampuan lebih, tentu ini lah yang berhasil dilakukan oleh  beberapa masyarakat Sukamurni yang memproduksi film Alak Paul. Jadi saya ingin mengatakan bahwa harus diakui jika menilai film ini dalam perspektif yang berfokus pada pembahasan teknis, selamanya akan dicap sebagai karya yang kurang berhasil dalam pengambilan gambar. Tentu itu pun tidak semua gambar. Hanya beberapa saja.

Dalam sebuah buku Analyzing literature to film adaptation, Mary H. Synder mengungkapkan bahwa "...To study film in any capacity, and here it is in conjunction with film adaptation of literature, one must have a basic understanding of how film works..." (177). Apa yang dikatakan oleh Synder dalam bukunya menyadarkan saya bahwa saya sendiri tidak memiliki landasan lebih dalam perfilman. Saya hanya bisa membandingkan kualitas satu karya hasil ekranisasi dengan karya lain.

Makanya daripada lelah membahas dan mengomentari hal teknis, saya ingin memberikan acungan jempol kepada orang-orang yang bekerja memproduksi Film Alak Paul. Sebab dengan segala keterbatasan alat produksi, film pendek Alak Paul dapat menyampaikan ceritanya secara baik kepada penonton, khususnya kepada saya pribadi. Sebagai karya yang diadaptasi oleh masyarakat yang tidak terlalu berkecimpung dalam kesusastraan Indonesia, film Alak Paul berhasil membuat saya tersentuh, "Kok masyarakat daerah saya tidak kretif seperti ini ya? Tidak membuat film atau hal-hal seni kreatif yang berasal dari masyarakat itu sendiri". Begitulah pertanyaan saya kepada diri sendiri setelah menonton film Alak Paul.

Saya terkesima ketika para aktor utama dapat menampilkan keaktorannya secara kuat sebagai masyarakat pedesaan yang ada dalam cerita Parabung. Ketika di bagian akhir film diperlihatkan bahwa para aktor sebetulnya bukan profesional tapi akting luar biasa mereka membuat saya tak habis pikir dengan kemampuan keren aktor-aktornya. Sangat natural, saya akan mengatakan seperti itu. Natural dengan porsi yang cukup, tidak terlalu manis, tidak juga hambar. Tentu hal ini tidak lepas dari kemampuan sutradara memilah aktornya. Memilih masyarakat yang berasal dari desa untuk memerankan peran orang-orang desa adalah pilihan yang tepat sebab konteks masalah-masalah pedesaan dan komunikasi sehari-hari yang ada di desa akan lebih terbangun.

Secara gamblang melihat keaktoran para pemeran Alak Paul, mungkin saya bisa saja mengatakan "tidak usah ada kelas akting, yang terpenting adalah bagaimana kecakapan sutradara untuk memilah aktor yang akan memerankan lakon dalam filmnya", begitu. Ari Kpin berhasil melakukan hal tersebut. Dengan durasi produksi film yang sangat sebentar, saya terharu kepada para aktornya. Salah satu Aktor yang saya sukai dari film pendek Alak Paul adalah Abah dan Ambu. Dengan sangat naturalnya, kedua orang tersebut dapat merepresentasikan kondisi ornag tua yang hidup di kampung. Cara Abah dan Ambu berkomunikasi mengingatkan saya kepada nenek dan kakek di kampung. Jika ada obrolan serius maka bentuk percakapannya tidak akan jauh seperti Abah dan Ambu lakukan. Saya merasa dekat dengan problema yang ada di kepala Abah, dan mengapa ia begitu tergesa ingin segera mengawinkan anak sulungnya, Euis. 

Kebingungan, kondisi miskin sebuah keluarga, serta kekhawatiran terhadap masa depan Euis membuat segala keputusan dipikirkan dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya. Bukankah dalam film Alak Paul kita dapat melihat bahwa keputusan Abah dan Ambu untuk menikahkan Euis dengan Juragan Jarot itu adalah hal paling fatal? Menikahkan Euis kepada Juragan Jarot malah membuat Euis dan Katarji menghilang ke Alak Paul.

Dalam pibahasa sunda, Alak Paul merupakan tempat yang sangat jauh, yang tidak bisa dicapai oleh manusia. Lantas di mana Alak Paul itu? Melihat Euis dan Katarji yang menghilang ketika dikejar oleh Abah dan Ambu, mengingatkan saya pada salah satu cuplikan novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Ma Iyang, perempuan yang memendam rindu kepada kekasihnya itu terbang dan menghilang di atas bukit ketika tentara Belanda sedang mengejarnya. Saya juga teringat cerita rakyat dari Jepang, Kaguya No Hime. Dalam Kaguya No Hime, sang Budha membuat manusia tertidur dan menculik Putri Kaguya ke Bulan, ketika Kaguya sampai di bulan, dia menyadari dia tidak akan bisa kembali ke bumi. kedua orang tuanya pun tidak akan bisa menyusulnya ke bulan. Saya juga bertanya-tanya, Euis dan Katarji sebetulnya pergi ke mana? Ke Bulan seperti Kaguya, atau menghilang diantara kabut seperti Ma Iyang?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline