Lihat ke Halaman Asli

Menguak Riak Singkarak

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Haji Munif menatap hamparan riak di permukaan Danau Singkarak dengan mata berkabut. Kepalanya ditutup peci putih, tak kalah putih dengan rambutnya yang telah dipenuhi uban. Kerut dan keriput wajahnya menunjukkan bahwa usia lelaki berkharisma itu telah memasuki usia sangat lanjut.

Malam telah lama menyelimuti wilayah Singkarak, namun Haji Munif masih belum beranjak dari tegaknya. Tangannya yang dilipat di dada tak mengurangi gelombang hebat yang berontak di balik jiwanya. Bahkan pantulan sinar bulan yang keperakan di permukaan danau sedikitpun tak membuat hatinya menjadi lebih damai.

Tadi siang, beberapa orang penduduk mendatangi rumahnya. Mereka mengadukan perihal pajak yang ditetapkan Pemerintah Belanda.

“Peraturan baru itu sangat mencekik kami, Angku Haji. Jangankan untuk membayar pajak, untuk memberi makan anak istri saja kami sudah sangat kesulitan,” lapor salah seorang dari mereka.

“Dan yang lebih menyakitkan hati, para penghulu suku ikut-ikutan berlaku kejam pada kami. Mereka dengan seenaknya memaksa kami untuk membayar pajak pada pemerintah, padahal mereka tahu sendiri betapa uang adalah barang yang sangat langka sekarang di daerah ini,” imbuh yang lain.

Mendengar pengaduan orang-orang miskin itu, maka sorenya Haji Munif mendatangi rumah Datuk Malelo, salah seorang penghulu suku di kampung itu.

“Kami terpaksa, Angku Haji. Sejak sistim paksa budi daya kopi dihapuskan, satu-satunya penghasilan pemerintah adalah dari pajak tersebut, dan begitu pula dengan kami. Semakin sedikit pajak yang berhasil kami tagih, maka semakin sedikit pula penghasilan kami,” jawab Datuk Malelo.

“Dengan memaksa rakyat?” tanya Haji Munif heran.

“Tapi itu sudah merupakan peraturan Pemerintah Belanda, Angku Haji. Angku Haji kan tahu sendiri bahwa harga kopi di pasar dunia merosot jatuh. Pemerintah tidak punya penghasilan lain lagi selain dari pajak ini,” alasan Datuk Malelo.

“Datuk, yang sangat tidak masuk akal, peraturan ini dibuat pada saat kondisi ekonomi rakyat sedang berada pada titik paling rendah. Dan itu disebabkan oleh sistim paksa budi daya kopi itu sendiri. Lalu kenapa kemudian rakyat juga yang harus menanggung akibatnya ketika harga kopi merosot di pasar dunia?” Nada suara Haji Munif meninggi.

Datuk Malelo terdiam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline