Lihat ke Halaman Asli

Dua Bayangan Lenggini (#6)

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14205121951439554324

Mundil selalu menghibur dirinya dengan berpikir bahwa sikap istrinya itu disebabkan oleh terpukulnya naluri keibuan Kasah atas kehilangan bayi mereka 50 tahun silam. Dan jika sudah berpikir demikian, Mundil pun dengan mudah bisa memaafkan kekasaran sikap istrinya itu.

Dan sesungguhnya, Mundil memang teramat mencintai Kasah karena perempuan itu tak pernah menyakiti Sindra, cucunya yang sama sekali tidak memiliki pertalian darah dengan Kasah. Almarhum ayah Sindra adalah anak Mundil dari perempuan lain yang tak pernah dinikahinya secara sah, karena di Buangan harga mahar amatlah tinggi.

Untuk bisa menikahi istri pertama maharnya adalah satu petak sawah. Untuk istri kedua adalah dua petak sawah, untuk istri ketiga adalah tiga petak sawah, dan begitulah seterusnya. Makin sering menikah, makin besar mahar yang harus dibayarkan. Dan hal itu sama sekali tidak mungkin dipenuhi oleh lelaki miskin seperti Mundil.

Dulu, ketika ia melamar Kasah, ia terpaksa berhutang pada saudaranya agar bisa membeli sepetak sawah untuk mahar. Namun hal itu tak pernah dipersoalkan oleh Kasah. Ia bisa mengerti kondisi Mundil yang memang tidak memiliki apa-apa selain kenekatannya belaka. Penerimaan Kasah atas dirinya itulah yang membuat Mundil tak pernah bisa mengecilkan keberadaan Kasah dalam hidupnya. Meskipun ia menduakan Kasah dengan perempuan lain, namun hati kecil Mundil tak bisa berbohong bahwa ia melakukan itu semata-mata hanya untuk mendapatkan keturunan. Ia tak pernah mencintai perempuan itu seperti ia mencintai Kasah.

“Aaauuunnng...!”

Suara lolongan anjing di kejauhan kembali menyentakkan malam, seakan mengucapkan selamat datang pada sang rembulan. Dan Kasah, kembali menarik selimutnya dengan sekali sentakan.

Sementara di luar rumah tampak Mundil tengah menatap purnama di atas sana. Sayup-sayup telinganya menangkap suara nyanyian anak-anak yang berasal dari lapangan kecil di ujung kampung.

Turunlah keutamaan, turunlah keselamatan

Naungi kampung kami, naungi hidup kami

Biarlah nenek moyang terbuang

Biarlah penghulu kami menghilang

Asal kami tak terbuang, asal kami tak menghilang

Dan beberapa menit kemudian Mundil mengalihkan pandangannya ke arah Bukit Ramalan. Purnama yang benderang membuat Gua Lenggini terlihat cukup jelas dari kejauhan. Mendadak bola mata Mundil membesar ketika menangkap satu sosok yang berjalan pelan dari dalam gua tersebut. Tidak diragukan lagi, dia adalah Lenggini.

Dan seperti seorang ratu, ia dikawal oleh dua sosok tinggi yang selama ini disebut sebagai bayangan Lenggini. Bukan hanya karena mereka selalu setia mengiringi langkah Lenggini, tapi juga karena tubuh mereka yang ditutupi pakaian hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Mundil menahan napas seraya melangkah pelan menuju rumpun bambu yang tumbuh di sudut halaman rumahnya. Berjongkok di bawahnya sambil merapatkan kain sarung untuk melindungi kulitnya dari gigitan nyamuk. Jika orang lain memilih berdiam di dalam rumah mereka sambil berdoa atas nama Lenggini, maka Mundil lebih suka menyaksikan dulu semua yang dilakukan Lenggini, meski sebenarnya Lenggini tidak suka orang-orang melihat apa yang dilakukannya di malam bulan purnama itu.

Dan ini bukan kali pertamanya Mundil melihat Lenggini dari kejauhan, dan bukan kali pertamanya pula ia mengamati apa yang dilakukan Lenggini bersama dua bayangannya itu pada malam bulan purnama. Sudah sangat sering kejadian itu diamatinya, namun entah kenapa Mundil tak pernah merasa bosan. Selalu ada rasa penasaran dan keingintahuan yang besar di benaknya tiap kali melihat Lenggini melakukan ritual yang satu itu. Mungkin karena hanya pada saat itu pulalah ia bisa melihat dengan leluasa dua sosok yang selalu mengiringi Lenggini pada malam hari. Siapa sebenarnya mereka?

Seingat Mundil, dulu Lenggini selalu muncul sendirian. Dua bayangan di belakangnya itu baru muncul sekitar tiga puluh tahun belakangan. Entah seperti apa wujud dan raut wajah mereka yang sesungguhnya, tak seorangpun pernah tahu. Yang jelas orang-orang mengatakan bahwa kedua sosok itu adalah malaikat yang selalu menjaga Lenggini. Dan kehadiran mereka merupakan pertanda naiknya derajat Lenggini.

Hal ini pulalah yang membuat Kasah geram bukan main. “Malaikat? Dasar orang-orang bodoh! Mana mungkin manusia melata yang jauh dari kemuliaan itu dijaga oleh malaikat? Dia lebih pantas dikawal oleh iblis!” tandasnya pedas. Dan orang-orang hanya diam, tak mau memperdebatkan hal itu lagi dengannya, karena Kasah memang tak pernah menyukai Lenggini sejak dulu.

Kini, dengan matanya yang sudah mulai rabun, Mundil masih bisa melihat bagaimana Lenggini yang selalu memakai pakaian berwarna gelap itu memulai ritualnya dengan meletakkan tiga anglo berisi kemenyan di sekitar tempat upacara. Lalu dengan gerakan agak lamban karena tubuhnya yang bungkuk, Lenggini pun mulai membakar kemenyan-kemenyan tersebut. Dari kejauhan asap kemenyan yang mengepul dari ketiga anglo tersebut terlihat cukup jelas. Dan bisa dipastikan, dalam waktu beberapa menit saja Bukit Ramalan pun akan langsung menyebarkan aroma mistik yang kental.

“Ooo...! Ooo...!” Lengkingan khas Lenggini pun akhirnya mengoyak malam, menandakan ritual segera dimulai.

Mundil yang tengah berjongkok di bawah rumpun bambu merasa bulu kuduknya merinding. Suara Lenggini yang serak namun lantang itu seperti memanggil segala macam makhluk gaib untuk berkumpul di Bukit Ramalan. Ia pun teringat akan pertemuan langsungnya dengan Lenggini dua malam yang lalu, dan itu membuatnya kian merinding.

“Owowooo...! Owowooo...!” Dua makhluk yang sejak tadi hanya diam di belakang Lenggini kini ikut berteriak nyaring seraya mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Dan seperti itulah memang suara yang selalu keluar dari mulut mereka.

Dada Mundil berdesir. Entah kenapa, setiap kali melihat dan mendengar suara dari dua bayangan Lenggini itu, jantungnya seperti berdebam tak menentu. Ada rasa ngeri yang tak bisa ia pungkiri, namun di balik itu selalu pula muncul keinginan yang kuat untuk terus mengamati dan menyimak jeritan dua makhluk aneh itu. Hebatnya, Mundil yang dikenal sebagai tukang tidur itu bisa menahan kantuknya sampai ritual Lenggini usai.

Sementara di kejauhan tampak Lenggini menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya ke belakang. Lalu dengan perlahan ia duduk di tanah sambil menyedekapkan kedua telapak tangannya di dada, seperti orang bersemedi. Sementara dua bayangannya berdiri di sisi kiri dan kanannya.

Setelah agak lama, Lenggini mengangkat tangannya tinggi-tinggi seraya berseru, “Ooo...! Ooo...!”

“Owowooo...! Owowooo...!” Dua sosok yang berdiri di belakangnya menyahuti juga sambil mengacungkan kedua tangan mereka ke langit, seakan memanggil rembulan agar turun ke bumi.

Lalu setelah itu Lenggini kembali berdiri. Bertiga mereka saling menggandengkan tangan dan berputar-putar seperti anak kecil yang sedang bermain lingkaran. Ada nyanyian khas yang mereka lantunkan namun tak jelas bunyi syairnya karena suara mereka lebih mirip gerungan dan kadang seperti suara bayi yang sedang mengoceh.

Baru setelah mereka selesai berputar-putar, Lenggini memisahkan diri. Perempuan bungkuk itu duduk di atas sebuah tunggul yang cukup besar, menyaksikan kedua sosok tinggi besar itu menari dan melompat kian kemari sambil sesekali berteriak nyaring, “Owowooo...! Owowooo...!”

Mundil menarik napas panjang seraya merapatkan kain sarungnya tanpa ada niat untuk segera beranjak dari tempat duduknya. Untuk yang satu ini, rasa kantuk yang sudah menjadi penyakitnya itu seakan hilang entah ke mana. Mundil lebih dikuasai oleh debar-debar aneh yang selalu muncul tiap kali menatap dua sosok hitam yang entah didapat Lenggini dari mana.

Sementara di kejauhan suara nyanyian anak-anak kampung masih terus terdengar, sayup-sayup terbawa angin.

Turunlah keutamaan, turunlah keselamatan

Naungi kampung kami, naungi hidup kami

Inilah kampung kami, inilah hidup kami

Terbuang tak kan hilang

Menghilang tak terbuang

@@@

Rumah tempat tinggal istri-istri Jarung tampak sepi. Rupanya mereka semua sedang berkumpul di halaman rumah Jarung sambil membawa anglo kecil kecil berisi kemenyan di tangan masing-masing. Malam ini, mereka akan mengadakan doa bersama atas nama Lenggini. Sekaligus mendoakan Sindra yang akan menjadi istri ke sepuluh Jarung. Istri penyempurna bagi lelaki tua berwajah cacat itu.

Sindra yang malam itu hanya boleh mengikuti sebagian dari acara doa bersama tampak tak tertarik untuk memegang anglo yang diberikan Hela padanya.

“Kamu harus ikut melakukan doa bersama agar pernikahanmu dengan Bang Jarung berlangsung lancar nantinya,” kata Hela sambil tersenyum. “Tapi setelah itu, acaranya khusus untuk istri-istri Bang Jarung saja karena kami yang sudah diramalkan hari-hari baiknya oleh Lenggini, tidak bisa disamakan dengan orang lain.”

Sindra yang masih berdiri sendirian di depan pintu hanya mengangguk diam sambil mengalihkan pandangannya ke halaman, tempat di mana istri-istri Jarung sudah duduk rapi beralaskan tikar anyaman. Ia pun kemudian melangkah pelan dan memilih duduk di dekat Hela. Entah kenapa perasaannya begitu cepat dekat dengan perempuan yang masih tergolong muda itu.

Sindra memang lebih banyak diam seakan hanyut dalam pusaran arus pikirannya sendiri. Tatapannya terbentur pada asap yang berasal dari anglo di hadapannya. Namun jelas ia tidak sedang memikirkan benda itu. Bahkan ketika doa dipanjatkan dengan nada bersahut-sahutan, ia sama sekali tidak menggerakkan bibirnya mengikuti apa yang diucapkan oleh istri-istri Jarung tersebut. Dan ketika doa bersama itu selesai, ia masih duduk terpaku di tempatnya.

“Sudah selesai, Sindra,” tegur Hela mengejutkannya. “Ayo, kamu harus masuk ke rumah. Kami, istri-istri Bang Jarung akan melakukan doa bersama beberapa saat lagi.”

“Eh, iya.” Sindra tersenyum malu sambil buru-buru berdiri dari duduknya. “Oya, Bibi, kenapa Bang Jarung tidak ikut berdoa bersama kita?”

“Nanti dia pasti ikut berdoa dengan kami. Sekarang kami menunggu dia pulang dulu dari gua,” jawab Hela sambil mengiringi langkah Sindra menuju beranda rumah. Mereka kemudian duduk di sebuah bangku kayu panjang.

“Maksud Bibi, Gua Lenggini?”

“Iya. Sekali seminggu Bang Jarung pasti ke sana menemui Lenggini.”

“Dan dia bertemu langsung dengan Lenggini?” Mata Sindra membesar.

“Ya, tentu saja.”

“Juga dua bayangan Lenggini itu?”

Hela mengangkat bahu. “Barangkali.”

Sindra menarik napas sejenak. “Bi, bagaimana Bang Jarung bisa dekat dangan Lenggini? Apakah dia tidak takut?” tanyanya kemudian.

“Saya tidak tahu persis ceritanya karena saat Bang Jarung mulai dekat dengan Lenggini, saya masih sangat kecil,” jawab Hela tersenyum geli. “Tapi kata orang-orang, Lenggini lah yang memilihnya karena menurut Lenggini, Bang Jarung itu adalah pengikut setianya karena sangat mempercayai apapun yang dikatakan Lenggini. Dia juga berani mempertaruhkan nyawanya demi Lenggini. Pokoknya, bagi Bang Jarung, Lenggini tak hanya sumber keselamatan tapi juga sumber keyakinan.”

Sindra mengangguk kecil sambil matanya menerawang menatap pucuk pohon pinus di sudut halaman. Dia tak hanya serakah dan bernafsu besar, tapi juga bodoh! Kalimat neneknya kembali bergema, membuat Sindra jadi menarik napas dalam.

“Terimakasih, Bibi. Sekarang saya semakin yakin,” kata Sindra sambil tersenyum. Sekilas ia melihat istri-istri Jarung yang masih berkumpul di halaman. Jika dilihat, tampak sekali perbedaan usia di antara mereka. Sebagian sudah kelihatan seperti nenek-nenek, sebagian lagi terlihat agak muda, dan dua di antaranya masih sangat muda seperti Hela. Dan Sindra, memiliki usia yang jauh lebih muda dari mereka semua.

Baru saja Sindra berniat masuk ke dalam, tiba-tiba ia merasa ada yang ganjil. Sekali lagi diamatinya istri-istri Jarung yang juga sedang melirik ke arah dirinya. Sindra yakin akan menemukan keganjilan itu. Ya, benar! Gadis itu sekarang bisa memastikan bahwa jumlah mereka hanya tujuh orang, delapan dengan Hela. Lalu mana yang satu lagi?

“Bi, ke mana istri Bang Jarung yang satu lagi?” bisik Sindra penasaran.

Hela terdiam, wajahnya sedikit berubah.

“Ke mana, Bi?” ulang Sindra.

“Sedang tidur,” jawab Hela pelan.

Sindra mengerutkan kening heran. “Tidur?”

“Sebaiknya kamu masuk sekarang saja, Sindra. Tidak enak dipandangi terus oleh mereka,” kata Hela lagi sambil bangkit dari duduknya. Rupanya ia risih juga melihat istri-istri Jarung yang lain saling berbisik dan melirik ke arah mereka berdua.

Sindra mengangguk. “Baiklah. Saya masuk dulu, Bi.”

Hela tersenyum seraya memandangi tubuh gadis belia itu beranjak hingga lenyap di balik pintu. Setelah itu ia pun kembali ke halaman.

@@@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline